The key to minimalism: Nothing is Really Yours!

 


Beberapa hari yang lalu, saya tersadarkan oleh satu fakta bahwa, kita tidak pernah berada di jalan yang benar-benar lurus. This road called life, wasn't designed to be a straight path. Pantas saja, dalam Islam kita diminta untuk mengulang kalimat 'tunjukkan kami pada jalan yang lurus,..' minimal 17 kali sehari.


Sejak mengikuti ajaran minimalism empat tahun yang lalu, saya senantiasa berada dalam fase me-review diri. Menjaga agar prinsip ini tidak luntur, walau seringkali terlena, lupa, melenceng, untuk kemudian kembali lagi. Karena dilakukan berulang-ulang, saya pikir.. ah mungkin sekarang saya sudah sangat terbiasa dengan minimalism. Sudah sangat mudah melepaskan, tidak lagi terbebani dengan kenangan, tidak lagi berat jika harus merelakan sesuatu itu pergi atau diambil dari saya. Karena memang itulah yang selalu terjadi, apapun yang saya miliki, jika itu hilang atau saya harus merelakannya untuk dibawa orang lain, saya selalu mampu untuk menyingkirkan rasa sedih itu dalam hitungan menit.. atau jam. 


Hingga baru-baru ini saya sadar ada yang saya miliki dan hilang, yaitu tali tas!

Ehem, ya, kedengarannya sepele ya. Tapi coba dengar dulu.

Minimalism bukanlah ajaran untuk terus menerus membuang barang-barang, menyingkirkan semua yang dianggap tidak berguna saat ini. Minimalism adalah ajaran untuk mempertahankan apa yang kiranya memberikan value bagi hidupmu dalam ukuran jangka panjang. Ukuran value ini tentu tidak ada standarnya, karena bisa jadi memang sifatnya yang digunakan untuk urusan profesional sehari-hari (seperti laptop, kamera, kendaraan), atau hanya sekedar memberi kesenangan alias spark joy. Minimalism tidak memberi standar value seperti apa yang harus kita pertahankan. Setiap orang bebas mendefinisikan value bagi dirinya sendiri dan hidup yang ingin dia jalani.


Bagi perempuan, tas adalah fashion item yang esensial. Karena sifatnya memang berguna (utilities) tetapi juga bisa untuk menunjang penampilan dalam konteks estetik. Perbedaan ini semua tentu bukan soal benar salah, apalagi bagi minimalism. Bisa saja kamu seorang minimalist, tapi punya tas seharga rumah sampai lusinan jumlahnya. Ini bukan soal kuantitas, tapi seberapa berfungsi tas-tas itu dalam menunjang kehidupanmu.


Saya masuk di kategori tengah-tengah. Kaum menengah, millennial pula, yang belum sanggup membeli tas seharga dua digit, tapi juga tidak mau menggunakan tas sembarangan beli. Saya pun punya tas-tas merk lokal yang harganya murah, semua tetap saya gunakan sesuai dengan kebutuhan dan mood. Tapi memang ada beberapa tas yang agak berbeda, dan salah satu dari tas itulah yang tali panjangnya hilang.


Saya tidak terbiasa kehilangan barang. Sejak menjadi minimalist, barang-barang saya sangat terbatas dan semuanya saya ingat. Tidak ada barang yang terlupa, teronggok di sudut rumah, menunggu waktu untuk bisa digunakan manusia. Pun saya tidak terbiasa berkompromi dengan barang yang tidak lengkap. Semua yang saya punya, saya tahu hingga detilnya, apa saja kelengkapan yang menyertai. Yang selalu berhasil saya jaga sampai waktunya tiba. Makanya, waktu saya sadar tali tas itu hilang, saya langsung menelpon tempat di mana saya yakin benda itu tertinggal dan si pemilik tempat itu tidak berjanji untuk menemukannya, saya pun sedih bukan main.


Saat itu sedihnya bukan saja karena dia hilang, tapi karena kecewa kenapa saya tidak bisa menjaga barang. Kenapa.. hanya karena ada keluarga saya datang, barang-barang jadi banyak karena ketambahan empat orang, saya langsung merasa overwhelm dan mudah abai. Padahal saya sudah berlatih selama empat tahun, hidup sendirian, seharusnya cukup untuk menghadapi kedatangan keluarga dan punya kontrol diri terhadap barang-barang yang mendadak jadi banyak.


Kalau saja saya langsung masukkan itu di salah satu kantong yang saya bawa.. kan banyak sekali kantong dan tas kecil. Harusnya tidak saya geletakkan sembarangan.. harusnya saya bisa tetap punya kendali walau situasi sedang ribut sana-sini. 


Tapi apa guna sesal itu sekarang. Saya pun baru sadar benda itu hilang setelah nyaris lima hari dia tertinggal di sana. Maka malam itu juga, saya pergi ke mall, membeli tas dengan tali yang sama. Mbak penjaga outlet dengan sabar dan telaten mengeluarkan satu persatu tali tas dengan kriteria yang saya sebutkan, sambil mencocokkannya dengan tas yang kira-kira, kalau pun saya bawa pulang tetap akan berguna. Bukan cuma beli tas hanya untuk ambil talinya, tapi memang tas nya juga akan dipakai. Saya pulang dari outlet itu dengan hati setengah terisi, karena saya mendapat tas yang sepadan walau talinya tidak benar-benar sama. Tapi lumayan. 


***

Kunci dari prinsip ini, adalah dengan benar-benar meyakini bahwa tidak ada satupun milik kita. Dunia dirancang bersifat sementara, semua pasti punya akhir bahkan dalam sebuah kepemilikan. Harta apa yang kamu pikir akan jadi milikmu selamanya?

Rumah? Mobil? Bahkan anak pun jika mereka sudah beranjak dewasa dan memilih jalan hidupnya sendiri, bisa saja tidak sejalan dengan jalan hidupmu. Anak bisa jadi memilih jalan yang kamu tentang, dan meskipun kamu masih mengatakan mereka sebagai milikmu, tapi tidak lagi utuh seperti saat kamu masih bisa memakaikan baju apapun sesukamu di tubuh mereka. 


Bisnis pun sama. Sebuah brand yang kita titi sejak kecil, kita rawat seperti bayi kita sendiri, dibesarkan dengan penuh perjuangan, saat ia sudah besar dan menggurita, akan dikontrol oleh lebih banyak pihak dan suaramu tidak lagi absolut dalam memanuver arah jalannya. 


Jika kita mengamini kebenaran ini, bahwa tidak ada di dunia ini benar-benar milik kita.. lantas.. apa yang tersisa?

Apa yang sebetulnya kita miliki selain diri kita sendiri? Pikiran.. jiwa..? Akan lain cerita bagi orang-orang seperti saya yang menggadaikan jiwa mereka untuk bekerja seumur hidup demi membayar cicilan. Kalaupun sudah terlanjur, ya minimal pertahankan sebagian dari diri kita untuk kita sendiri, karena memang hanya itulah yang kita miliki.

***


Saya sedang tidak banyak menulis akhir-akhir ini, karena rutinitas satu jam menulis sebelum tidur sekarang terganti dengan rutinitas bermain Uno sampai ngantuk. Kedatangan dua adik saya yang mau melanjutkan sekolah di dua kota berbeda cukup menyita waktu dan pikiran, yang lucunya sanggup menghilangkan semua rutinitas baik yang saya bangun dengan hati-hati.


Seorang teman alumni kampus di Yogya pernah bilang, bahwa kedatangan teman dari luar kota untuk berwisata di Yogya sebagai orang-orang yang merusak ritme. Saya pun meng-iyakan sepakat, karena saya termasuk salah satu perusak ritme tersebut. (Dulu, nyaris tiap akhir pekan saya menumpang kereta ke Yogya hanya untuk menghabiskan dua hari bersama mereka sebelum kembali bekerja di Hari Senin). 


Memang benar ternyata, apapun yang kita bangun dengan hati-hati, bisa rusak seketika oleh hadirnya faktor eksternal yang tidak bisa kita kendalikan. Kita hanya bisa membangun pondasi, sekuat mungkin agar nanti, kelak jika faktor eksternal itu terjadi lagi, kita tidak akan ikut terhanyut dan tetap bisa berpegang pada ritme yang telah kita bangun. Sesederhana itu, tapi rumit penerapannya.


***

Bogor, 23 Juni 2021

Bahkan, kebiasaan dan rutinitas pun bisa sewaktu-waktu direnggut dari kita.

Comments

Popular posts from this blog

Something to Look Forward to

Inside the Mind of a Woman

144 Hours without Instagram