[Minimalism in Perspective]: Tradisi, Budaya, Adat, dan Identitas
Anak-anak Suku Anak Dalam Bujang Hasan (SAD Hasan), Jambi - Oktober 2019. |
Salah satu inspirasi saya dalam menekuni minimalism adalah suku-suku di Indonesia yang saya temui sepanjang menjadi assessor dalam konteks sosial untuk projek-projek yang berkaitan dengan sertifikasi sustainability perusahaan perkebunan. Karena jika hanya traveling biasa, saya mungkin tidak akan sampai ke Suku Anak Dalam, ke area marga-marga di Humbang Hasundutan, ke pelosok Kotawaringin Timur, remote area di Miri, Serawak, dan ratusan desa lain yang saya kunjungi selama tiga tahun pertama menggeluti karir di bidang ini. Dari satu desa ke desa lain, satu suku ke suku lain, walau terpisah jarak dan watak, saya bisa melihat ada satu kesamaan yang nyata dari cara hidup mereka; yaitu menjunjung tinggi kesederhanaan.
Saya berkesempatan mengunjungi satu rumah adat Suku Batak Toba yang sudah ratusan tahun usianya namun masih kokoh berdiri. Area itu hanya dihuni oleh tujuh kepala keluarga, yang mempersilakan kami masuk dengan ramahnya. Satu orang tetua dengan bangga menunjukkan benda-benda peninggalan nenek moyang yang tersimpan di sela antara dinding dan atap, sambil juga memperlihatkan bahwa rumah ini tidak direkatkan dengan paku walau sebutir. Sebab paku adalah buatan manusia, sedangkan konsep rumah adat ini seluruhnya berasal dari alam, sehingga hanya diikat oleh serabut tali yang dijalin kuat nan rapih.
Hal serupa juga saya temukan jauh di Raijua. Bayangkan, dari Sumatera Utara sampai ke Selatan terluar Indonesia, juga memiliki cara yang sama dalam menjalin-rekatkan tiang kayu pada atap rumah. Mungkin karena memang jaman dulu tidak ada akses pada benda-benda seperti itu, jadi wajar saja kalau mereka punya cara untuk merekatkan bangunan tanpa paku. Yang saya takjub adalah kemauan dalam melestarikannya, yang diturunkan oleh anak-cucu yang masih mau tinggal di sana. Padahal mereka punya pilihan untuk pergi merantau, hidup di kota, cari uang yang banyak, lalu memugar dan memperbaiki rumah peninggalan itu.
Tapi hal tersebut tidak mereka lakukan. Kenapa? Apakah karena mereka malas?
Ada pernyataan menarik dari buku yang kemarin saya baca, tapi belum tuntas, tentang Suku Orang Rimba. Penulisnya adalah dosen pengajar di Universitas Diponegoro, yang saya baca hanya untuk mencari satu statement pendukung dari hipotesa yang akan saya tulis di dalam laporan (namun nihil). Begini bunyinya:
"In addition, the MOSA also observes that the Orang Rimba have a strong culture of laziness. Such impression emerges from the evaluation of outsiders, either the government or people in general, when they see the behaviour of the Orang Rimba as deemed not to be diligent in working. Such ideas emerged when they saw what the Orang Rimba did was only to keep walking in the forest to go melangun, to hunt searching louk, or to earn other livings. Outsiders think that such activities are insignificant because they do not generate money to meet daily needs.
The government believes that the impression of laziness culture plays a significant role in obstructing and means the aids given by the MOSA cannot be used appropriately (Palle & Roni, 1993). In order to resolve such problems, the Orang Rimba should be guided and directed so as to live properly like other community groups. The MOSA think that the inhibiting factors of the Orang Rimba should be eliminated and changed into a new, better culture. The question is how to eliminate Orang Rimba’s melangun tradition35, change their nomadic life into a permanent life pattern and to change their belief into other religions. One of the government’s programs is a permanent settlement through the PKMT program, which is an suitable effort to develop Orang Rimba life in order that it can be proper, focused and normal like other ethnic groups in Jambi." Orang Rimba, True Custodian of the Forest.
Intinya adalah, kamu tidak sendirian jika berasumsi bahwa suku adat atau tradisional adalah orang yang memiliki budaya malas sehingga hidupnya terbelakang.
Kemudian saya teringat saat masih kuliah dulu, kami ditugaskan untuk turun ke desa dalam program berjudul 'Kuliah Kerja Praktek' alias KKP. Saya kebagian ditempatkan di Subang, 20 km dari rumah Eyang saya makanya KKP tidak terasa seperti sedang bertugas karena justru saya bisa pulang tiap akhir pekan (yang membuat seisi rumah geleng-geleng kepala karena berani sekali ini anak bawa motor sendirian di jalur Pantura yang notabene banyak bis ngebut. Gak tahunya sekian tahun kemudian saya bolak balik nyetir sendirian ke sana dari Bogor. Haha). Anyway. Selama KKP kami diminta untuk membuat program-program penyuluhan, yang menurut saya kini sangat stupid karena seharusnya di sana kitalah yang belajar pada petani bukan malah mengajarkan petani pentingnya tanam serentak, penggunaan pupuk yang bijak, tepat guna tepat waktu dan blah blah blah.
Saat itu kami terus menerus berpikir dan mengkritisi, kenapa petani hanya kerja dari pagi sampai pukul sembilan atau sepuluh. Seharusnya setelah pukul sepuluh masih bisa lagi ada yang dikerjakan. Atau paling tidak, jangan biarkan hasil taninya dijual mentah. Harus ada ekstra usaha untuk melipatgandakan keuntungan, yaitu dengan membuat produk olahan. Kami menyarankan petani yang menjual gabah basahnya untuk membeli penggilingan padi, agar bisa menjual beras jadi. Kami menyarankan ibu-ibu yang menanam timun dan palawija untuk mengolahnya jadi produk kemasan supaya nilai jualnya bertambah. Menurut kami, masih ada banyak sekali yang bisa diusahakan oleh warga desa supaya kesejahteraannya berlipat ganda.
Setidaknya itulah yang diajarkan oleh kampus; untuk bisa meningkatkan nilai tambah, dan terus menerus berproduksi walau musim sudah berganti. Dengan cara pemuliaan tanaman maupun modifikasi genetik, apapun dilakukan agar tidak ada sejengkal tanahpun yang terbengkalai.
Kebingungan saya terhadap pola hidup masyarakat 'pinggiran' ini berhenti saat saya sedang bertugas di Kutai Timur. Saya menulis tempat itu dengan julukan; Kalimantan Rasa Yunan karena orangnya seperti orang Cina - atau Jepang- dan penamaan mereka pun seperti orang Cina/Jepang. Sore hari selepas melangsungkan FGD di desa bernama Long Poq Baru, saya berjalan menuju mobil diantar oleh perangkat desa yang sudah berdiskusi dengan kami sepanjang siang. Kami melewati sebuah lapangan, tempat muda-mudi bermain bola voli. Ramai sekali sampai saya harus menengok melihat keriuhannya. Dari tempat saya berdiri, matahari sore seperti jatuh bagai lampu sorot. Karena lapangan itu tertutupi rimbun pohon, maka matahari hanya bisa menyiram beberapa rumah yang berada di dekat situ, membentuk sebuah lukisan sore yang membuat saya jatuh cinta.
Oh.. batin saya pelan. Saat itu juga saya paham, bagaimana rasanya sore. Betapa indah, damai dan tentram. Saya juga teringat sebuah desa yang terletak di pinggir Sungai Lamandau; Desa Rungun. Jika tiba waktu sore, anak-anak akan keluar rumah dengan riang, berlari berkejaran menuju sungai, mandi dan berendam sambil tertawa-tawa. Jika azan magrib berkumandang, sambil melilit kain sarung, mereka berkelompok pergi ke masjid dengan menenteng Al-Quran atau Iqro kecil.
Ada hal magis tentang sore yang baru saya pahami hari itu.. hari di mana saya mulai memutuskan untuk mengakhiri rutinitas bepergian untuk assessment ini.
***
Sejak lulus kuliah dengan bekal pikiran yang serba bingung dan judgmental seperti itu tentang masyarakat adat maupun masyarakat desa, saya tidak pernah punya kehidupan yang 'normal'. Saya tidak kenal apa itu rutinitas, dan membiarkan hidup dalam ketidakpastian. Saya bisa sewaktu-waktu diminta untuk berangkat assessment pukul lima pagi, yang baru diberi tahukan pukul lima sore hari sebelumnya dan kepastian jam pesawatnya baru ada pukul sepuluh malam. Saya bisa mendarat di Bandara Supadio sebanyak empat kali dalam seminggu, pulang ke Bogor hanya untuk berganti koper dan itupun ditunggui oleh supir.
Saya tidak pernah tahu apa itu artinya tenang dalam hidup, dan seperti apa rasanya. Yang saya tahu, saya senang bekerja, karena dengan bekerja saya bisa terus mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Lembar demi lembar.
Di Kutai Timur saya melihat riang gembira pemuda dan pemudi -mungkin seumuran saya- bermandikan keringat sambil tertawa, mempertontonkan hati yang ringan tanpa beban. Saat melihat warna langit sore, saya sadar bahwa jarang sekali saya bisa melihat warna sore. Hidup selalu dipenuhi dengan pekerjaan yang mengharuskan bepergian, dan jika tidak sedang bepergian pun saya baru akan meninggalkan kantor lewat matahari terbenam.
Warna sore di Kutai Timur, kesahajaan tetua Suku Batak Toba, kesederhanaan orang Melayu di Jambi dan Palembang, membuat saya mengerti apa artinya ketenangan.
Tidak jarang dalam perjalanan itu saya pun menemukan konflik. Banyak sekali orang yang bercerita, menumpahkan amarahnya pada perusahaan yang menurut mereka telah merebut lahan warisan milik mereka. Banyak juga yang turut mengancam saya, hendak dicegat, dijebloskan ke penjara, dan macam-macam. Memang tidak semua masyarakat desa atau adat hidup dalam kesahajaan, banyak juga yang tetap hidup dalam amarah dan kebencian luar biasa. Tapi.. apa yang berbeda antara mereka yang hidup bersahaja dengan yang 'memperjuangkan hak' dengan berkonflik?
Bisa dibilang nyaris tidak ada.
Mereka sama-sama tinggal di rumah kayu beratap daun. Sama-sama tetap mengandalkan penghasilan dari lahan yang bersisa. Bedanya hanyalah yang satu setidaknya sudah berusaha memperjuangkan haknya, dan yang satu lagi hidup dalam keberterimaan.
Lantas kembali lagi ke pertanyaan awal.. apakah yang hidup dalam keberterimaan itu berarti mereka orang malas?
Jika boleh saya katakan, merekalah sebetulnya para pendahulu 'minimalisme', walau tidak terlabeli demikian, namun dari merekalah kemudian bisa diwariskan tentang kesahajaan hidup. Orang bisa datang dan belajar tentang masa lalu, untuk bisa mengerti latar belakang hal-hal yang terjadi di masa sekarang.
Mereka tidak sibuk berkonflik bukan karena mereka tidak peduli, tapi karena mereka tahu diri. Mereka tahu bahwa kemampuan mereka terbatas, dan mengurusi hal itu sampai mati pun bisa jadi tidak membuahkan hasil. Jika pemerintah sudah turut membela para pemilik modal, ya kita bisa apa. Mungkin begitu kira-kira. Minimalisme adalah tentang memilih hal-hal yang esensial untuk diperjuangkan. Menyingkirkan yang tidak patut agar bisa fokus pada nilai yang ingin dilestarikan. Bukan berarti melupakan masa lalu juga, justru masa lalu sangatlah penting untuk dipelajari. Bukan sebagai kenangan nostalgia busuk semata, tetapi untuk mengerti latar belakang sebuah pembelajaran yang diyakini oleh seseorang atau satu suku.
Kultur orang Indonesia memang terkesan malas, selow, tidak berambisi, jika dibandingkan dengan Orang Jepang yang selalu penuh perhitungan. Mungkin memang demikian jika kita hanya melihat dari satu sudut saja. Tapi jika bersedia, maukah kita melihat dari sudut berbeda?
Saat hari sudah mulai memasuki babak akhir, dengan semua pencapaian, rupiah, dollar, yang berhasil dikumpulkan, siapakah yang akan ada di samping kita untuk melalui gelapnya malam? Jangan-jangan, hidup yang penuh ambisi itu, justru menyingkirkan semua orang yang tadinya peduli, dan di akhir hari baru lah kita sadar bahwa uang tidak bisa membunuh sepi.
Tapi ya lagi-lagi.. segala sesuatu yang berlebihan memang tidak baik. Kita tetap harus menjaga titik imbang antara sahaja dan penuh perhitungan. Terlalu menganggap remeh pekerjaan dan segala aksi mencari uang demi minimalisme dan kesahajaan pun tidak benar, karena harga-harga tidak akan turun hanya karena kamu minimalist. Terlalu mengejar rupiah dengan segenap ambisi pun tidak benar, karena waktu kita cepat habis tanpa ada nilai yang sempat ditinggalkan.
Minimalisme berada di antara titik imbang tersebut. Mengerjakan sesuatu dengan sungguh-sungguh, peduli dengan siapa dia berbicara dengan menyingkirkan segala bentuk distraksi, menghargai kehadiran orang yang mencintai kita dengan cara selalu menyediakan waktu untuk mereka. Boleh jadi Suku Orang Rimba yang dituduh miskin dan malas itu tidak merasa miskin dalam hidupnya. Mereka sebetulnya punya semua yang mereka butuhkan, namun kedatangan orang luar yang menjajakan kehidupan dalam kemasanlah yang membuat mereka berubah pikiran. They were fine before we came, kita yang mengubah perspektif mereka tentang identitas mereka sendiri.
***
Saya adalah seorang anak yang lahir dari pencampuran suku-suku. Ayah saya orang Gorontalo yang sejak kecil sudah hijrah ke Manado. Ibu saya campuran dari Solo dan Subang, yang sejak kecil tinggal di Cianjur sebelum pindah kembali ke Pamanukan (Subang). Saya lahir di Manado, tumbuh besar di Bogor sebelum menjalani kehidupan berpindah dari Papua, Gorontalo, hingga kembali lagi ke Bogor.
Nyaris tidak pernah punya identitias kesukuan tertentu, karena saya menolak jika dibilang Orang Sunda, dan orang yang baru kenal wajah saya selalu menyangka saya Orang Jawa. Saya selalu mengaku sebagai orang Gorontalo, namun selalu ditolak bahkan oleh keluarga sendiri. Untuk itu saya tidak pernah benar-benar mengenal tradisi, budaya, maupun adat yang melekat yang bisa dijadikan label. Bahkan sewaktu mempersiapkan pernikahan lima tahun yang lalu pun, saya menolak menggunakan semua adat itu demi keadilan bersama (kalau satu dipakai harus pakai semuanya, capek kan ganti bajunya). Tapi batal juga sih. Haha. Anyway.
Identitas kultur dan budaya merupakan bagian penting dalam penemuan jati diri seseorang. Walaupun bukan segala-galanya. Melekatkan label malas pada kultur tertentu, hanya karena hidupnya berbeda dengan standar yang kita punya, adalah ketidak adilan sosial yang tanpa sadar sudah menyalahi sila ke-lima. Jika orang-orang tahu apa itu minimalisme, tentu tuduhan itu tidak akan berlaku. Jika orang-orang banyak yang menerapkan paham minimalisme, tentu akan lebih banyak lagi orang yang mengerti, bahwa melihat warna sore bersama seseorang yang kamu cintai, akan jauh lebih bermakna ketimbang kerja terus tanpa henti tapi tidak ada yang berkembang di sana.
Jika kamu bersedia untuk melihat dunia dari perspektif sebelah sini, saya harap kamu bisa berhenti memaksakan standarmu pada orang lain. Kelak jika kamu menjadi pemimpin, kamu akan memimpin mereka dengan empati, dengan mencari tahu apa definisi 'sukses' bagi orang-orang suku adat. Siapa tahu bahagia mereka adalah dengan menyediakan bahan baku alami untuk memperbaiki tiang rumah yang sudah mulai usang, bukan malah dengan membangungkan mereka sebuah rumah susun yang mereka sendiri tidak paham bagaimana cara menempatinya. Karena dunia bukan hanya tentangmu saja. Seven billion people, and you're not the only one with brain.
***
Bogor, 28 Februari 2021 23.46.
Tulisan ditulis sejak pukul 22.30. Dari pukul 14.00 sampai 22.30 saya terduduk di kursi, solat sesekali, tidak makan nasi, karena fokus mengerjakan perbaikan laporan yang saya tulis ulang nyaris keseluruhan. Growth is when you read your past writing and cringe, ternyata itu benar. Saya bergidik sendiri membaca cara saya menulis laporan dua tahun yang lalu. Bicara minimalisme dan kesahajaan padahal sendirinya kerja di Hari Minggu selama 7,5 jam. Memang betul yang ditulis Bill Burnett and Dave Evans dalam bukunya; Designing Your Life. Nulis-nulis cara hidup begini tuh either bikin kita jadi a living example, atau a big hypocrite. But in my defence.. saya bisa begini karena memang tidak ada yang protes. Kalau ada orang lain yang bergantung sama saya pun akan dengan senang hati saya layani mereka dulu.. I'm a professional procrastinator anyway..
Comments
Post a Comment