Why Decluttering will shape you into a new person


"Currently Decluttering, so I'm basically a new person" adalah tagline yang saya taruh dimana-mana. Di caption photo terbaru instagram, di bio twitter, dan kalau perlu di depan pagar rumah pakai cutting sticker.


Kenapa saya selalu menyebut demikian? Karena teknik Marie Kondo yang menjadikan joy sebagai acuan, adalah jalan menuju seseorang itu mengenal dirinya dan apa sebetulnya yang dia definisikan dengan joy. Kadang kita terlalu terbiasa hidup dengan satu cara yang familiar, sampai kita sendiri tidak paham mengapa kita lakukan kebiasaan yang kita lakukan. Kenapa harus selalu mandi tiap pagi, padahal tidak kemana-mana. Kenapa harus solat setiap hari, jika Tuhan Maha Tahu dan Maha Pengampun. Teknik Marie Kondo, pertama-tama memperkenalkan seseorang pada apa yang sebetulnya dia senangi, dan membawa rasa senang ke dalam hati.


Teknik ini sedikit banyak berkorelasi dengan connecting to the ruh seperti yang pernah saya tulis sebelum ini. Bahwa manusia dibekali dengan tiga aspek; akal, hati, dan ruh, yang semuanya bisa dijadikan pedoman hidup dalam porsi yang imbang. Namun seringkali, suara dari ruh tidak terdengar karena tertutup oleh hati yang terlalu gelap dan tidak mampu memancarkan cahaya ruh dari dalam.


Agenda bersih-bersih, mengeliminasi barang-barang yang kita lindungi setengah mati, merupakan simbol dari membersihkan dinding gelas hati. Jika gelas itu jernih, maka cahaya di dalamnya akan bisa berpendar dengan indah, menjadi petunjuk bagi akal untuk memilih. Hidup selalulah tentang memilih. Memilih makan siang di mana, menunya apa, minum pakai juice atau susu, juicenya pakai gula atau tidak, dari hal kecil sampai yang rumit. Siapa yang akan kita percaya untuk memilihkan jalan jika bukan kita sendiri? Apalagi, akal seringkali tertipu oleh nafsu sesaat. Akal mudah terdistraksi oleh something shiny, yang biasanya tidak begitu berguna.


Dalam proses ini, proses memilih berulang-ulang kali apakah akan menyimpan satu benda atau menyingkirkannya, apakah akan dibuang atau didonasikan, didonasikan atau dijual, adalah proses yang akan melahirkan kesadaran baru; betapa selama ini kita sudah terlalu kuat mencengkram masa lalu. Benda-benda yang sudah usang, yang sudah lama sekali tidak terpakai, namun masih disimpan karena itu adalah pemberian dari seseorang yang dulu pernah jadi cerita, atau pemberian dari kakek tersayang, yang sebetulnya sudah tidak lagi memberi kita ketentraman jika memandangnya, dengan teknik ini, kini berhasil disingkirkan. Menyingkirkan satu demi satu benda dari masa lalu, yang mungkin sedikit banyak membuat hati kita teriris karena tidak tega merelakannya pergi, adalah jalan seseorang membentuk karakter dan kepribadian yang baru.


Karakter dan kepribadian yang hanya bergantung dan hidup pada masa ini, saat ini, dan sekarang. Juga tidak menyimpan benda hanya karena ketakutan akan masa depan, takut kalau-kalau nanti butuh padahal sudah empat tahun dia tersungkur dan terabaikan.


Saya punya sebuah dispenser, masih bagus sekali. Dari segi warna dan fungsi juga masih sangat saya suka. Warnanya merah, dan dia punya mode super hot yang bisa memanaskan air hingga sembilan puluh derajat. Dispenser itu saya beli sejak masih mahasiswa, jadi sudah lumayan lama umurnya tapi sangat terawat dengan baik. Juga merupakan dispenser kebanggaan karena airnya bisa panas sekali, pas untuk bikin kopi jaman skripsian, gak perlu bolak-balik ke dapur supaya dapat air mendidih.


Tapi dispenser itu sudah lama tidak digunakan. Saya juga baru sadar, ternyata sudah nyaris empat tahun dia cuti. Waktu saya geser, debunya juga sudah lumayan menumpuk. Dulu, waktu pertama kali pindah dari kost-kostan, saya berpikir untuk menjual dispenser ini. Mungkin jika saya jual saat itu, saya masih bisa melabeli nya dengan harga yang lumayan, tapi karena takut nanti bakal terpakai, jadi tetap saya bawa pindah ke rumah kontrakan, dan dari kontrakan ke rumah ini. Sekarang, kalau saya jual dispenser itu, tentu saya tidak tega. Jadi lebih baik saya donasikan, sambil sebelumnya dibersihkan terlebih dahulu. Tapi, melepaskan sebuah dispenser yang masih sangat bagus, dan punya kenangan di dalamnya --saya masih ingat proses pencariannya-- rasanya seperti tersayat sembilu. Waktu saya melap setiap lekuknya, ada haru dari gambaran adegan di kamar kost yang pernah terjadi. Pernah ada adik saya yang datang berlibur, teman SMA yang ngegalau bareng, tahun baruan, mereka semua sarapan dengan sereal yang diseduh dari air panas dispenser ini.


Melepaskan benda yang punya begitu banyak memori, dan juga masih sangat bagus rupanya, adalah cara tercepat untuk menebalkan dinding hati, immune terhadap hal-hal yang berbau perasaan. Bukan untuk mematikan hati loh, ya. Itu beda. Karena semakin dewasa, kita sudah sewajarnya bisa berpikir menggunakan logika lebih banyak. Mungkin untuk laki-laki ini lebih mudah, karena kebanyakan yang butuh proses ini memang hanya perempuan. Perempuan sekarang bisa melakukan nyaris apa saja. Mereka bisa berbisnis, bekerja kantoran, berjibaku dengan ragam orang, tapi jika terus menerus terbawa perasaan, apa-apa dibawa ke perasaan, semua urusan yang dipegangnya akan berantakan. Efeknya bukan hanya pada dia, orang lain yang jadi rekan pun bisa kena imbasnya.


Makanya saya sangat pro terhadap perempuan yang punya pilihan untuk tidak bekerja, dan memilih itu. Tapi saya sangat salut pada mereka yang berhasil menyeimbangkan keduanya, bekerja dan mengurus rumahtangga, dan tidak mencampur baurkan urusan yang satu dengan yang lain. Begitu dia menginjak keset ruang tamu, di sanalah juga semua masalah kantornya ditinggalkan.


Hehe, I know it's hard ya bund. But as long as you're trying, I'm with you.


Ngomong-ngomong, itu dispenser harus saya lepaskan alasannya sederhana sih.. karena saya gak bisa pasang galonnya. Kalau dulu di kost, banyak yang bisa bantuin, termasuk Mbak kost sebelah kamar, ibu 4 anak, yang bisa angkat galon dan pasang dengan tepat. Pernah sekali saya coba, baru separuh jalan, galonnya sudah tergelincir dari tangan, air muncrat kemana-mana, menyenggol gelas yang terletak di lantai, lalu pecah. karena dispensernya di taruh di lantai. Sejak itu saya kesal dan kapok, dan tidak mau lagi pasang galon.


***

Live for the NOW


Setelah tanpa sadar we have cling to the past for way too hard, and learn how to let go, setelah itu Marie Kondo mengajarkan kita untuk menghilangkan rasa takut akan masa depan.


Kita terlalu banyak dicekoki dengan urusan nanti besok begini dan begitu, mulai dari soal investasi, sampai hal-hal yang berbau non-rejeki. Yang buruk adalah ketika sesuatu itu sudah terlalu berlebihan, khawatir berlebihan soal hari esok sampai menginvestasikan uang yang tidak semestinya, apalagi bukan haknya. Itu seperti melangkahi adanya suatu Kuasa di atas kita, yang bisa berkehendak apapun untuk kita, termasuk menjadikan kita kaya raya dalam semalam. Saking seringnya kita melihat ke depan, sampai lupa bahwa hari ini, detik ini, juga perlu dinikmati. Karena jelas tidak akan terulang lagi. Terlalu sibuk menabung hingga menahan diri sekuat hati menikmati penghasilan yang kita dapat dengan jerih payah hari ini.


Don't be too hard to yourself. She's the only one you got for the rest of your life, sampai nanti dikubur bareng. Makanya dalam Islam tuh indah banget, bahwa sedekah terbaik adalah sedekah pada diri sendiri. 


Mempersiapkan diri boleh, tapi jangan sampai membutakan mata pada apa yang seharusnya dinikmati hari ini. Mempersiapkan jadi seorang Ibu dengan belajar masak, belajar baking, belajar bikin cemilan, dan segala rupa, itu boleh dan sangat bagus. Tapi jangan lupa bahwa kamu berhak juga sesekali istirahat, tidak ke dapur, dan pesan makanan-makanan delivery. Lagipula, no matter how hard you learn to be a good Mom, you will fail once or twice, and that doesn't matter.. that's normal.. that's human. 

***


Semakin sering kita melepaskan barang-barang yang disimpan hanya karena kenangan, semakin mudah pula kita melepaskan keterikatan terhadap apa yang berpotensi jadi kenangan. Dengan sendirinya, hasrat duniawi pun perlahan memudar, karena kita tahu toh ujung-ujungnya ini cuma sementara. Toh cepat atau lambat, barang itu akan kita lepaskan lagi, dan mengulangi lagi proses sayat sembilu merelakan pergi. Jadi sebelum terlambat, sudah lebih dulu kita pasang ancang-ancang agar tidak terlalu lekat.


Lambat laun karakter seseorang akan berubah mengikuti ritme tersebut. Menjadi pribadi yang lebih ringan, tidak ngoyo, tidak ngotot, dan apa adanya. Karena dia tahu, what's meant for her will be hers, always. Juga jadi tidak mudah iri dengan rejeki orang lain, apalagi sampai membanding-bandingkan diri.


Saya agak kaget waktu pasang status di instagram story tempo hari, dan ternyata banyak yang bereaksi dan bahkan mengambil screenshot tulisan itu untuk mereka posting ulang. Tulisannya begini;

"When a woman can discard 70% of her sentimental items, boy she's no joke. 

Don't tell her what to do unless you're smarter than her. Because she knows what she wants and what she's doing. And that's dangerously awesome!" 

***

Itu bukan lagi pose, tapi ngeliatin tas-tas yang ditaruh di sebrang., dan bersyukur sekali saya cepat memanfaatkan momen.. minggu depannya waktu sesi foto lagi, vespa itu sudah tidak ada. Rupanya dia bukan pajangan, tapi ada yang punya. Hoho. Duh kusuka sekali vespa 

***

Bogor, 19 Januari 2021

Akutu suka ya sama yang vintage-vintage. Old soul macam ku begini kalau lihat sesuatu yang kuno dan antik tu langsung berdebar jatuh cinta. Tapi yaa rasa ingin memiliki itu sudah tidak ada lagi, kecuali sekarang, mulai muncul sebuah kebutuhan terhadap jam weker manual jadul yang berbunyi kriiiiiiiiing buat bangunin sahur. 

:') Ramadan sebentar lagi, Bund. Kita akan bangun jam tiga dini hari, masak, makan, cuci piring, lalu solat subuh, setiap hari selama sebulan. 

Comments

Popular posts from this blog

Something to Look Forward to

Inside the Mind of a Woman

144 Hours without Instagram