Beri Jeda, Beri Ruang
Minimalism mengajarkan saya tentang pentingnya memberi ruang terhadap berbagai kemungkinan yang terjadi. Dalam satu ruangan yang penuh sesak oleh benda, memberi sedikit ruang dengan menyingkirkan benda-benda yang tidak lagi dibutuhkan akan menimbulkan kebaikan tersendiri bagi si pemilik ruang itu. Entah karena tiba-tiba ada satu petak ubin yang selama ini tertutupi oleh tumpukan kardus kini menjadi terlihat, atau karena sebuah sudut yang mendadak terkespose dan menyimpan warna cat yang masih bagus karena selalu terlindungi oleh lemari usang. Seberapa kecilpun, menyisakan sedikit ruang dapat memberi makna yang sangat dalam.
Hal ini juga berlaku untuk pikiran. Saat kita sedang sibuk oleh hal-hal duniawi yang membutuhkan kehadiran fisik, bepergian dari satu kota ke kota lain, dari satu rumah ke rumah lain, pikiran tentu disesaki oleh hal-hal teknis yang sifatnya jangka pendek. Setelah ini akan ke mana, makan apa, isi bensin di mana, apa yang harus disampaikan saat nanti bertemu, and so on and so forth. Jika sudah begitu, penting sekali untuk memberi jeda pada pikiran agar mempunyai sedikit ruang lain. Ruang yang dapat digunakan untuk melihat sesuatu dari sudut berbeda, karena siapa tahu, siapa tahu, rencana yang sudah tersusun rapi itu ternyata salah.
***
Saat pandemi masih begitu ditakuti orang berbulan lalu, saya pernah membuat sebuah video yang mengumpulkan rekaman-rekaman dari semua orang yang bersedia berkontribusi. Saya beri video itu dengan sebuah hashtag: beri jeda. Karena saat itu kita semua begitu terkungkung dalam berita-berita mencekam, dan tenggat pekerjaan yang harus dikejar. Setiap kali ada kesempatan untuk tatap muka melalui layar, orang-orang selalu melakukan hal yang sama; mengeluh. Mengeluhkan tentang ini dan itu, mengeluhkan hal-hal bodoh yang dilakukan, hingga bercanda dengan same old joke, yang entah kenapa masih membuat semua orang tertawa.
Saya mengajak mereka untuk memberi jeda, siapa tahu mereka ikut bisa merasakan dan melihat apa yang saya rasakan dan saya lihat setelah berhasil memberi jeda, menarik diri, membuat batas dan melihat segala hal dari jauh.
Jeda membuat kita jadi punya ruang tersendiri untuk mengevaluasi hal-hal yang selama ini kita lakukan. Kebenaran yang kita yakini benar, tidaklah absolut. Satu-satunya hal yang mutlak kebenarannya hanyalah eksistensi Tuhan, yang tidak patut dipertanyakan bagi mereka yang beragama. Selain dari itu, semua masih punya ruang untuk berbeda. Untuk bisa dilihat dari sudut lain, dan ternyata sudut lain itu sama benarnya dengan sudut yang kita yakini benar.
Sebagaimana yang dijanjikan mengenai tanda akhir jaman, segala sesuatu menjadi sangat berbaur dan sulit untuk dibedakan. Video sembilan belas detik yang jelas-jelas begitu saja, masih bisa dibilang bahwa itu bukan dirinya --ow yea I watched that video--, dan parahnya lagi, ada orang yang percaya.
Karena mudah saja sekarang ini untuk mempermainkan perasaan pikiran orang. Hanya dengan memberinya informasi yang salah terus menerus, maka informasi itu lambat laun akan menjadi benar.
Misal kalau ada orang bilang Corona virus tidak ada, ya jangan langsung dibantah juga, bisa jadi dia juga benar.
Karena tidak semua hal patut kita perjuangkan kebenarannya. Tidak semua hal harus kita ketahui dengan detil dan sempurna. Minimalism mengajarkan seseorang untuk memilah mana yang patut dipikirkan dan mana yang patut untuk sekedar diketahui saja. Kalaupun misalnya Corona virus memang tidak ada dan kita yakin itu benar, ya sudah. Tapi tidak ada salahnya kita tetap ikuti prosedur yang ada, karena pakai masker, cuci tangan, itu bukan hal yang sulit kan?
Memberi jeda --menimbulkan ruang-- membuat kita masih tetap terbuka dengan segala kemungkinan. Syaratnya, kita tetap punya fondasi yang cukup kuat untuk mempertahankan mana pandangan serta pendapat yang paling fundamental dan tidak bisa didebat. Ini kaitannya dengan prinsip hidup yang kita yakini. Jika ini sudah terbentuk, kita akan mudah mengikuti alur tanpa terombang-ambing.
Makanya nanti, Insya Allah --semoga Allah kasih kesempatan-- jika saya hendak ajarkan agama pada anak-anak, hal pertama yang harus mereka ketahui adalah tentang bagaimana cara merasakan kehadiran dan pertolongan Allah dalam hidup mereka. Seperti Adek Rumaysa yang pingin sepeda, disuruh Ibuk Retno untuk berdoa, lalu dia minta ke Allah supaya dikasih sepeda dan dikasih uang, tidak lama kemudian Ayahnya dikasih voucher dari kantor yang cukup untuk beli sepeda. Lalu pas ditanya Dek, siapa yang kasih sepeda? Dia jawab, Allah, I think.. :')
Karena banyak orang dewasa yang menua, tanpa bisa merasakan apapun dalam ibadah ritual mereka. Hanya sekedar melakoni setiap gerakan, lalu selesai setelah salam. Jika semenjak masih kanak-kanak orangtuanya sudah mengajarkan tentang kehadiran Tuhan dalam hidupnya, maka dengan sendirinya cinta itu akan tumbuh. Jika sudah cinta, maka seseorang akan rela untuk melakukan apapun tanpa perlu diminta. Akan berbeda rasanya solat ketika ingin berterima kasih pada Allah, dengan solat karena wajib.
Setelah perasaan itu tertanam kuat dan menjadi fondasi, barulah mereka diajarkan bermacam-macam ritual. Solat, mengaji, puasa, agar mereka tahu kenapa mereka perlu lakukan itu. Lalu biarkan mereka bertumbuh, dengan mengajarkan untuk memberi sedikit ruang pada kemungkinan lain yang bisa jadi benar. Agar tidak mudah mendebat orang di depan publik hanya karena dia tidak pakai kerudung panjang.
***
Tulisan ini terinspirasi dari hari ini yang ternyata adalah Hari Introvert Sedunia. Tanggal 2 Januari dipilih dengan sengaja, karena di hari ini para introvert akan menarik diri untuk mengumpulkan kembali energi setelah dihabiskan untuk merayakan tahun baru. Jadi, sebagai introvert sejati, saya habiskan hari ini dengan tidak ngapa-ngapain. Atas nama memberi jeda, saya biarkan barang-barang masih berceceran, tidak memberesi apa-apa, dan hanya baca buku, nonton youtube dan nonton film seharian (am about to watch my second movie for the day before I pause and write this. This should be the only productive thing I've done today). Oh, iya, sama disela oleh masak nasi dan goreng bebek, karena walaupun ga ngapa-ngapain, saya tetap harus makan walau malas.
Sepraktis-praktisnya beli bebek ungkep, tetep aja perlu dipisah-pisahkan ke dalam food container supaya kulkas rapi dan enak dilihat. Dan misahin bebek ungkep itu kan lumayan peer, karena harus di defrost dulu, pastikan semua potongan sudah terpisah, pastikan ukuran food container, dll.
Dan jangan makan bebek sambil nonton Death at a funeral. Hwek.
Kenapa ya soal masak, urus kulkas, nyuci dan nyetrika itu ku rajin sekali tapi kalau soal beberes rumah, nyapu ngepel, itu rasanya berat sekali. Padahal kalau dihitung-hitung, nyapu ngepel gak menghabiskan waktu lebih dari 50 menit. Saya kalo nyetrika, misal sudah terlalu sibuk dan setrikaannya numpuk, bisa diselesaikan dalam enam jam seharian (sambil pause untuk makan dan solat). Besok juga rencannaya akan nyetrika aja seharian. Kalau ditaruh di laundry, peer lagi menghilangkan bau parfumnya.
Bermasalah banget, Mim sama parfum laundry.
Yaa.. lu ga tau aja kan ya rasanya mencium aroma yang mengingatkan ke orang. Makanya brandingnya Garuda itu powerful banget, mereka pakai emotional branding in a scent of Garuda perfume, which I have, by the way, yang bikin orang kalau cium aroma itu langsung teringat rasanya terbang bersama Garuda Indonesia. Lagian bertahun-tahun nge laundry di situ, baru kali ini ketemu orang yang aroma laundrynya sama -_-.
Anyway,
Belajar memberi jeda itu juga bisa diterjemahkan dengan meditasi. Memberi ruang kosong pada pikiran, supaya lebih tenang, dan lebih terarah. Tidak dikuasai emosi, karena hati adalah tempat favorit para syaitonirojim. Hati sangat rentan oleh godaan, karenanya harus terus menerus dibersihkan supaya ruh bisa memberi petunjuk melaluinya.
Kita hidup dalam ruang-ruang padat yang penuh dengan kebingungan, ketakutan, dan rencana masa depan yang belum terlihat. Jangan terlalu terkonsumsi oleh pikiran sendiri. Toh kita tidak akan keluar dari sini hidup-hidup. Badan ini juga nantinya akan membusuk dan ter- decompost. Yang paling penting adalah untuk tetap terkoneksi dengan ruh dan cahaya di dalam diri kita sendiri, dan cahaya itu tidak akan bisa kita raih jika kita terus menerus disibukkan oleh rutinitas duniawi.
***
Bogor, 2 Januari 2020
Aku paling males makan nasi, tapi kalo di Pamanukan makan nasi ku bisa nambah dua kali. Karena beras nya dari Jengkol (sekitar satu jam dari Pamanukan dan benar-benar masih pedesaan), dari sawah milik orangtuanya suaminya si Euteu. Suatu hari kubilang, kalau nanti panen, aku mau beli berasnya. Ternyata kemarin dibawain, kataku ini sih cukup untuk setahun kalau buatku. Efeknya nyata. Aku biasanya makan nasi sekali sehari, sekarang jadi dua kali. Hehe. Penting banget ya post-note ini.
Comments
Post a Comment