Efek psikologis pakaian terhadap mood kerja
Hari ke-60 karantina mandiri. Terakhir kali saya ke kantor secara normal adalah tanggal 29 Februari. Berarti di akhir bulan ini akan genap tiga bulan tidak ke kantor. Jadi sudah tahu rasanya orang yang cuti hamil itu seperti apa, dan bisa sangat mengerti kenapa sebagian dari mereka memutuskan untuk tidak akan pernah kembali lagi ke kantor.
60 hari bekerja dari rumah, saya sudah cukup kenyang dengan coba-coba segala jenis pakaian. Mulai dengan memakai baju-baju lama yang sudah tidak pernah dipakai (sekaligus memberi kesempatan untuk terakhir kalinya bagi mereka, sebelum nantinya saya akan serahkan mereka kepada pemilik baru), kemudian memakai baju rumah biasa (kaos dan celana pendek karna saya tidak punya daster kecuali satu picis yang dibelikan teman kantor di Bali), sampai beberapa hari belakangan ini saya kembali pakai baju kantor yang ‘normal’ saya pakai sehari-hari ke kantor.
Ternyata.. setiap jenis baju yang saya pakai itu, memberi efek psikologis berbeda. Ketika pakai baju lama, bawaannya ingin mengenang terus. Ketika buka laptop, maunya lihat-lihat foto lama dengan dalih membersihkan hardisk. Nuansa nostalgia pun jadi sangat lekat, erat, dan yaa.. sedikit banyak bikin terharu sih, sudah sebegini jauh perjalanan.
Berbeda rasanya dengan ketika saya pakai baju rumah. Rasanya casual, biasa saja, dan memang lebih tidak ribet. Tapi bawaannya jadi pengen di dapur terus. Dikit-dikit masak. Kalau gak bikin makan berat, bikin cemilan. Atau malah waktu rehat nya dipakai tuk bikin brownies atau semacamnya. Fokus kerja sih fokus, tapi rasanya leluasa untuk melipir ke dapur atau ke halaman sekedar menanam sisa masakan, sambil membetul-betulkan tanaman yang sudah mulai rebah.
Jadi di hari-hari belakangan ini, saya coba kembalikan rutinitas ngantor seperti tiga bulan lalu. Bangun, mandi, skincare, dan pake baju kantor seperti biasa.
Hasilnya memang bagus untuk kerjaan, tapi pekerjaan rumah jadi terbengkalai. Dua hari lalu bahkan saya baru makan jam 7 malam, padahal sedang tidak bisa puasa. Karena canggung rasanya, berkemeja lalu ke dapur.
Kita memang tahu bahwa pakaian adalah simbol untuk manusia. Ada identitas, harga diri, dan kategori yang tersimpul dari sehelai kain. Pakaian juga adalah kehormatan, makanya sewaktu Adam dan Hawa diturunkan ke Bumi, pakaiannya tanggal semua dan harus menutupi tubuh dengan dedaunan.
Bahwa kemudian pakaian punya efek psikologis, saya pun berniat untuk mencoba disiplin dengan memakai pakaian kantor setiap hari, walau cuma kerja di dalam rumah, atau paling jauh ke teras. Entah bisa sampai kapan bertahan, karena saya paling tidak bisa berkomitmen. Tulisan ini kelak akan jadi penanda.
***
Bogor, 13 Mei 2020
Hari ke-5 almarhumah pergi.
Masih sakit kalau lihat fotonya lagi.
Foto baju di hari ke-60
60 hari bekerja dari rumah, saya sudah cukup kenyang dengan coba-coba segala jenis pakaian. Mulai dengan memakai baju-baju lama yang sudah tidak pernah dipakai (sekaligus memberi kesempatan untuk terakhir kalinya bagi mereka, sebelum nantinya saya akan serahkan mereka kepada pemilik baru), kemudian memakai baju rumah biasa (kaos dan celana pendek karna saya tidak punya daster kecuali satu picis yang dibelikan teman kantor di Bali), sampai beberapa hari belakangan ini saya kembali pakai baju kantor yang ‘normal’ saya pakai sehari-hari ke kantor.
Ternyata.. setiap jenis baju yang saya pakai itu, memberi efek psikologis berbeda. Ketika pakai baju lama, bawaannya ingin mengenang terus. Ketika buka laptop, maunya lihat-lihat foto lama dengan dalih membersihkan hardisk. Nuansa nostalgia pun jadi sangat lekat, erat, dan yaa.. sedikit banyak bikin terharu sih, sudah sebegini jauh perjalanan.
Berbeda rasanya dengan ketika saya pakai baju rumah. Rasanya casual, biasa saja, dan memang lebih tidak ribet. Tapi bawaannya jadi pengen di dapur terus. Dikit-dikit masak. Kalau gak bikin makan berat, bikin cemilan. Atau malah waktu rehat nya dipakai tuk bikin brownies atau semacamnya. Fokus kerja sih fokus, tapi rasanya leluasa untuk melipir ke dapur atau ke halaman sekedar menanam sisa masakan, sambil membetul-betulkan tanaman yang sudah mulai rebah.
Jadi di hari-hari belakangan ini, saya coba kembalikan rutinitas ngantor seperti tiga bulan lalu. Bangun, mandi, skincare, dan pake baju kantor seperti biasa.
Hasilnya memang bagus untuk kerjaan, tapi pekerjaan rumah jadi terbengkalai. Dua hari lalu bahkan saya baru makan jam 7 malam, padahal sedang tidak bisa puasa. Karena canggung rasanya, berkemeja lalu ke dapur.
Kita memang tahu bahwa pakaian adalah simbol untuk manusia. Ada identitas, harga diri, dan kategori yang tersimpul dari sehelai kain. Pakaian juga adalah kehormatan, makanya sewaktu Adam dan Hawa diturunkan ke Bumi, pakaiannya tanggal semua dan harus menutupi tubuh dengan dedaunan.
Bahwa kemudian pakaian punya efek psikologis, saya pun berniat untuk mencoba disiplin dengan memakai pakaian kantor setiap hari, walau cuma kerja di dalam rumah, atau paling jauh ke teras. Entah bisa sampai kapan bertahan, karena saya paling tidak bisa berkomitmen. Tulisan ini kelak akan jadi penanda.
***
Bogor, 13 Mei 2020
Hari ke-5 almarhumah pergi.
Masih sakit kalau lihat fotonya lagi.
Foto baju di hari ke-60
Comments
Post a Comment