Seperti saat menunggu badai
Badai di Hari Minggu membuktikan bahwa cuaca memang sedang kurang bersahabat. Kapal gagal berangkat di keesokan harinya, membuat kepulangan saya ke Pulau Sabu tertunda. Dalam hati saya benar-benar khawatir jika kapal memang tidak berangkat karena saya sudah membeli tiket pesawat kecil dari Pulau Sabu ke Kupang. Pesawat ini hanya berkapasitas 12 penumpang, dan dua kursinya dikhususkan untuk pasien rujuk atau kondisi darurat lain, makanya saya harus beli jauh hari dan tidak bisa mendadak.
Orang-orang di sekitar mulai membercandai bahwa saya memang tidak akan bisa pulang. Setidaknya angin badai ini baru akan normal kembali di Bulan Februari, membuat saya semakin ingin teriak, tapi yang ada malah tertawa. Jadilah hari itu, sepanjang hari saya mulai belajar untuk yakin.
Sambil menghabiskan waktu duduk di bawah Pohon Beringin di halaman belakang rumah Om Bos dan Budhe, saya mencoba mengendalikan emosi agar tidak terlampau khawatir dan malah jadi tidak bisa menikmati satu-satunya momen di Pulau Raijua yang mungkin tidak akan terulang kembali. Berulang kali saya mengingat Kuasa Allah, mengingat kebesaran-Nya dan berulang-ulang berbisik dalam hati bahwa tidak ada satupun hal yang mustahil bagi-Nya. Tapi saya harus yakin juga dengan apa yang saya mau. Saya benar-benar yakin mau pulang Hari Selasa dan lanjut pesawat perintis Hari Rabu. Saya yakin mau pulang ke Bogor dan kembali menjalani kewajiban yang sudah saya tandatangani.
Kenapa saya harus meyakinkan diri sedemikian rupa?
Karena sewaktu saya bersandar di Raijua pada Hari Sabtu, diri sendiri pun masih belum begitu yakin akan kembali di Hari Senin ke Pulau Sabu. Saya pikir.. kalau di Raijua ada orang-orang yang bisa ajak saya jalan-jalan, tapi di Sabu belum tentu. Satu-satunya orang yang saya tahu hanya Henu, itupun siangnya dia kerja (he’s a weather guy, I say). Saya takutnya kalau sudah meninggalkan Raijua Hari Senin, saya akan kehilangan waktu seharian sampai di Pulau Sabu gak bisa kemana-mana, karena janjian ke Kelabba Maja dengan Henu baru Hari Selasa.
Karena Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui yang terbaik, maka saya berbisik. ‘Ya Allah, begini kondisinya, saya serahkan keputusan pada-Mu dan saya yakin Engkau akan memilihkan yang terbaik’. Walau begitu saya masih berharap bisa menyebrang di Hari Senin semata-mata karena saya khawatir Selasa tidak bisa menyebrang lagi. Itu saja.
Maka begitu tahu Senin saya gagal menyebrang, berulang kali saya berbisik antara berterimakasih dan juga berharap sepenuhnya bahwa besok saya benar-benar bisa menyebrang. Diselingi dengan meminta ampun terus menerus, atas dosa dan kesalahan yang selama ini saya lakukan.
Mudah saja bagi kita untuk mengingat-Nya di situasi demikian. Apalagi jika tempatnya mendukung. Langit biru cerah yang bisa mendadak mendung, bikin langsung ingat bahwa Dia Maha Berbuat segalanya dan tidak ada yang tidak mungkin bagi-Nya. Laut biru dan gelombang besar yang terus berdebur, membuat kita terus ingat akan kebesaran-Nya dan bahwa semua ini milik-Nya. Apalagi.. jika sudah malam dan langit cerah menampakkan bintang gemintang.. rasa syukur tiada tara akan keindahan yang dinikmati bisa membuat lupa diri. Sungguh mudah sekali kita untuk dibuat kagum dengan karya-Nya jika sedang berada di pulau seperti itu.
Itulah yang kemudian saya bawa pulang. Ketika pemandangan luar jendela sepanjang jalan dari bandara menuju Bogor adalah gedung tinggi menjulang, kendaraan berjejer rapi karena macet, dan yang hinggap di pikiran dengan mudahnya adalah tentang pekerjaan yang harus diselesaikan serta bagaimana untuk bisa terus cari uang supaya bisa keep up dengan gaya hidup yang dipampang di pemandangan jendela..
Dua pelajaran yang saya bawa pulang, tentang yakin dengan apa yang diinginkan oleh diri sendiri (benar-benar yakin), dan yakin bahwa tidak ada yang tidak mungkin bagi-Nya. Jika Dia sudah berkehendak, hanya tinggal bilang ‘jadilah’ dan memang semudah itu.
Berarti..
Peer selanjutnya adalah mendefinisikan apa yang benar-benar kita inginkan. Meyakini keinginan sendiri sama juga dengan mengenal apa yang diri ini mau serta butuh. Itu dulu. Jika sudah ketemu, tinggal minta, perbaiki hubungan dengan-Nya, perbaiki cara berkomunikasi dengan-Nya, dan Dia Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang pasti akan membukakan jalan-Nya untuk kita.
***
Dramaga, 17 Januari 2020
Di klinik dokter gigi yang sama seperti sepuluh tahun lalu
Orang-orang di sekitar mulai membercandai bahwa saya memang tidak akan bisa pulang. Setidaknya angin badai ini baru akan normal kembali di Bulan Februari, membuat saya semakin ingin teriak, tapi yang ada malah tertawa. Jadilah hari itu, sepanjang hari saya mulai belajar untuk yakin.
Sambil menghabiskan waktu duduk di bawah Pohon Beringin di halaman belakang rumah Om Bos dan Budhe, saya mencoba mengendalikan emosi agar tidak terlampau khawatir dan malah jadi tidak bisa menikmati satu-satunya momen di Pulau Raijua yang mungkin tidak akan terulang kembali. Berulang kali saya mengingat Kuasa Allah, mengingat kebesaran-Nya dan berulang-ulang berbisik dalam hati bahwa tidak ada satupun hal yang mustahil bagi-Nya. Tapi saya harus yakin juga dengan apa yang saya mau. Saya benar-benar yakin mau pulang Hari Selasa dan lanjut pesawat perintis Hari Rabu. Saya yakin mau pulang ke Bogor dan kembali menjalani kewajiban yang sudah saya tandatangani.
Kenapa saya harus meyakinkan diri sedemikian rupa?
Karena sewaktu saya bersandar di Raijua pada Hari Sabtu, diri sendiri pun masih belum begitu yakin akan kembali di Hari Senin ke Pulau Sabu. Saya pikir.. kalau di Raijua ada orang-orang yang bisa ajak saya jalan-jalan, tapi di Sabu belum tentu. Satu-satunya orang yang saya tahu hanya Henu, itupun siangnya dia kerja (he’s a weather guy, I say). Saya takutnya kalau sudah meninggalkan Raijua Hari Senin, saya akan kehilangan waktu seharian sampai di Pulau Sabu gak bisa kemana-mana, karena janjian ke Kelabba Maja dengan Henu baru Hari Selasa.
Karena Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui yang terbaik, maka saya berbisik. ‘Ya Allah, begini kondisinya, saya serahkan keputusan pada-Mu dan saya yakin Engkau akan memilihkan yang terbaik’. Walau begitu saya masih berharap bisa menyebrang di Hari Senin semata-mata karena saya khawatir Selasa tidak bisa menyebrang lagi. Itu saja.
Maka begitu tahu Senin saya gagal menyebrang, berulang kali saya berbisik antara berterimakasih dan juga berharap sepenuhnya bahwa besok saya benar-benar bisa menyebrang. Diselingi dengan meminta ampun terus menerus, atas dosa dan kesalahan yang selama ini saya lakukan.
Mudah saja bagi kita untuk mengingat-Nya di situasi demikian. Apalagi jika tempatnya mendukung. Langit biru cerah yang bisa mendadak mendung, bikin langsung ingat bahwa Dia Maha Berbuat segalanya dan tidak ada yang tidak mungkin bagi-Nya. Laut biru dan gelombang besar yang terus berdebur, membuat kita terus ingat akan kebesaran-Nya dan bahwa semua ini milik-Nya. Apalagi.. jika sudah malam dan langit cerah menampakkan bintang gemintang.. rasa syukur tiada tara akan keindahan yang dinikmati bisa membuat lupa diri. Sungguh mudah sekali kita untuk dibuat kagum dengan karya-Nya jika sedang berada di pulau seperti itu.
Itulah yang kemudian saya bawa pulang. Ketika pemandangan luar jendela sepanjang jalan dari bandara menuju Bogor adalah gedung tinggi menjulang, kendaraan berjejer rapi karena macet, dan yang hinggap di pikiran dengan mudahnya adalah tentang pekerjaan yang harus diselesaikan serta bagaimana untuk bisa terus cari uang supaya bisa keep up dengan gaya hidup yang dipampang di pemandangan jendela..
Dua pelajaran yang saya bawa pulang, tentang yakin dengan apa yang diinginkan oleh diri sendiri (benar-benar yakin), dan yakin bahwa tidak ada yang tidak mungkin bagi-Nya. Jika Dia sudah berkehendak, hanya tinggal bilang ‘jadilah’ dan memang semudah itu.
Berarti..
Peer selanjutnya adalah mendefinisikan apa yang benar-benar kita inginkan. Meyakini keinginan sendiri sama juga dengan mengenal apa yang diri ini mau serta butuh. Itu dulu. Jika sudah ketemu, tinggal minta, perbaiki hubungan dengan-Nya, perbaiki cara berkomunikasi dengan-Nya, dan Dia Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang pasti akan membukakan jalan-Nya untuk kita.
***
Dramaga, 17 Januari 2020
Di klinik dokter gigi yang sama seperti sepuluh tahun lalu
Comments
Post a Comment