Curcol backpacker #7: First Stop, Seba!
Kapal bersandar pukul 17.30, terlambat.. seharusnya dari jam 16.00 sudah tiba. Mungkin faktor cuaca, gelombang sedang tinggi-tingginya dan tidak ada orang lokal yang mau menyebrang di musim-musim begini. Itulah kenapa begitu saya tiba di Kota Seba, orang-orang yang saya temui menatap tidak percaya dan setengah kagum atas keberanian saya. Ummm.. berani dan bodoh memang bedanya setipis kalbu sih.
Menginap di penginapan Abdullah, yang jaraknya dekat sekali dari pelabuhan. Lokasinya juga strategis karena di depan ada yang jualan bakso mie ayam, soto dan ayam lalap. All Javanese dong tentu. Saya juga diajak mampir ke rumah sepasang suami istri pendatang dari Bali yang sudah tinggal di Sabu selama sebelas tahun. Ini adalah tahun terakhir mereka di sini, rencananya jika masa kontrakan warung sudah habis, mereka akan pulang ke Bali, supaya lebih dekat dengan anak-anak.
Memang ya, di setiap daerah perantau harus ada yang mengambil peran itu. Terutama untuk anak-anak baik mahasiswa PKL ataupun lulusan kuliah yang disebar dalam program Indonesia Mengajar. Agar para pendatang baru itu tidak merasa kesepian di tempat baru, dan merasa ada yang menyambut..
Sebagai orang yang pernah merantau ke kota mayoritas non-muslim, suasana di sini sangat mirip sekali dengan di sana, di Merauke. Persis! Pendatang yang berbaur dengan orang lokal, orang lokal yang menerima pendatang, dan gimmick-gimmick friksi yang terjadi di antaranya. Makanya saya selalu percaya, bahwa toleransi itu sama saja dengan cinta. Tidak bisa di definisikan, tapi bisa dirasakan dan bisa dibuktikan. Di Sabu, semuanya ada. Dari Bude yang berkirim kue natal ke rumah-rumah tetangganya, sampai pendeta yang ikut memotong hewan kurban pada saat Idul Adha.
Yang bikin Indonesia ribut soal toleransi itu kan media sosial saja. Orang-orang yang sejatinya tinggal di daerah monokultur tapi ingin dianggap open minded lantas berusaha membuktikannya di media sosial karena di kehidupan nyata tidak banyak aksi toleransi yang bisa dia lakukan. Harusnya mereka itulah yang dikirim ke pulau-pulau seperti ini untuk menyaksikan langsung bagaimana sejatinya yang mereka SJW kan itu.
Jadwal kapal sangat tidak menentu, tadi juga saya alami sendiri naik kapal dengan gelombang luar biasa besar, kapal oleng bukan kepalang, saya nyaris kehilangan kebanggaan saya sebagai motion sickness free since 1992, karena setelah tiga jam kapal berlabuh dari Kupang, saya benar-benar tidak bisa bergerak. Mau memajukan badan saja rasanya ingin muntah. Jadi saya bersandar pasrah, menutup mata walau tidak tidur-tidur amat, dua jam kemudian baru hilang pusingnya. Hufh.. aman. Karena saya memang anti mabuk-mabukkan di kendaraan. Eh.
Besok bagaimana?
Entah.
Liat besoklah. Sampai di sini, saya sudah berhenti berencana.
***
Seba, 10 Januari 2020
Nyampe juga di pulau terluar Indonesia, Mim :’)
Menginap di penginapan Abdullah, yang jaraknya dekat sekali dari pelabuhan. Lokasinya juga strategis karena di depan ada yang jualan bakso mie ayam, soto dan ayam lalap. All Javanese dong tentu. Saya juga diajak mampir ke rumah sepasang suami istri pendatang dari Bali yang sudah tinggal di Sabu selama sebelas tahun. Ini adalah tahun terakhir mereka di sini, rencananya jika masa kontrakan warung sudah habis, mereka akan pulang ke Bali, supaya lebih dekat dengan anak-anak.
Memang ya, di setiap daerah perantau harus ada yang mengambil peran itu. Terutama untuk anak-anak baik mahasiswa PKL ataupun lulusan kuliah yang disebar dalam program Indonesia Mengajar. Agar para pendatang baru itu tidak merasa kesepian di tempat baru, dan merasa ada yang menyambut..
Sebagai orang yang pernah merantau ke kota mayoritas non-muslim, suasana di sini sangat mirip sekali dengan di sana, di Merauke. Persis! Pendatang yang berbaur dengan orang lokal, orang lokal yang menerima pendatang, dan gimmick-gimmick friksi yang terjadi di antaranya. Makanya saya selalu percaya, bahwa toleransi itu sama saja dengan cinta. Tidak bisa di definisikan, tapi bisa dirasakan dan bisa dibuktikan. Di Sabu, semuanya ada. Dari Bude yang berkirim kue natal ke rumah-rumah tetangganya, sampai pendeta yang ikut memotong hewan kurban pada saat Idul Adha.
Yang bikin Indonesia ribut soal toleransi itu kan media sosial saja. Orang-orang yang sejatinya tinggal di daerah monokultur tapi ingin dianggap open minded lantas berusaha membuktikannya di media sosial karena di kehidupan nyata tidak banyak aksi toleransi yang bisa dia lakukan. Harusnya mereka itulah yang dikirim ke pulau-pulau seperti ini untuk menyaksikan langsung bagaimana sejatinya yang mereka SJW kan itu.
Jadwal kapal sangat tidak menentu, tadi juga saya alami sendiri naik kapal dengan gelombang luar biasa besar, kapal oleng bukan kepalang, saya nyaris kehilangan kebanggaan saya sebagai motion sickness free since 1992, karena setelah tiga jam kapal berlabuh dari Kupang, saya benar-benar tidak bisa bergerak. Mau memajukan badan saja rasanya ingin muntah. Jadi saya bersandar pasrah, menutup mata walau tidak tidur-tidur amat, dua jam kemudian baru hilang pusingnya. Hufh.. aman. Karena saya memang anti mabuk-mabukkan di kendaraan. Eh.
Besok bagaimana?
Entah.
Liat besoklah. Sampai di sini, saya sudah berhenti berencana.
***
Seba, 10 Januari 2020
Nyampe juga di pulau terluar Indonesia, Mim :’)
Comments
Post a Comment