Minimalist Trip #1: Prapat - Balige - Porsea
Berkunjung ke Sumatera Utara rasanya tidak lengkap jika belum ke Danau Toba. Seperti yang diceritakan, dunia seperti kiamat ketika Danau Toba terbentuk, dan bagi para pemikir akan membaca betapa dibalik sebuah bencana mahadahsyat, terbentuklah panorama yang teramat indah. Sangat indah untuk dipuja dalam kata.
***
Kultur Orang Batak sudah lama menempati posisi spesial dalam hati saya, karena perilaku mereka yang cenderung percaya diri dan berkarakter membuat saya selalu senang bergaul dengan perantau-perantau Batak semasa kuliah dulu. Pertama kali saya berkesempatan menginjakkan kaki di Tanah Batak, yaitu satu tahun yang lalu, saya langsung jatuh hati dan memutuskan untuk ingin kembali lagi.
Keinginan saya tersebut terkabul setahun kemudian, ketika perusahaan yang sama meminta perusahaan konsultan tempat saya bekerja untuk melakukan penilaian di areal berbeda. Meskipun masih dalam cakupan kabupaten yang sama.
Kembali terbang ke Bandara Silangit, menyaksikan julangan bukit-bukit dari jendela pesawat, dan terdiam membisu menyaksikan bentangan indah lereng-lereng bukit yang berubah menjadi areal persawahan, membuat saya tidak berhenti bersyukur akan keindahan dan kesempatan yang telah diberikan. It does spark joy. The place, and the people.
Tidak terkecuali orang-orang Batak asli yang menemani sepanjang perjalanan, dengan candaan khas dan lugas mereka, dengan cara mereka memperlakukan tamu, dan cara mereka membawa diri (satu dua menunjukkan sikap defensif, satu dua amat ramah dan melayani). Dibalik itu semua, saya yakin setiap mereka sejatinya adalah baik dan senang bercerita. Orang Batak suka sekali bercerita, itu yang membuat saya yakin semua mereka adalah baik dan cerdas. Jika pada awalnya terlihat defensif, itu hanya soal bagaimana pembawaan kita sebagai pendatang untuk mau mendekati mereka secara baik-baik dan tidak penuh basa-basi. to the point aja lah. begitu prinsipnya.
***
Prapat - Keramba Ikan
Prapat adalah salah satu destinasi primadona bagi mereka yang ingin menikmati Danau Toba. Sepanjang jalan menuju Kabupaten Simalungun, pengunjung akan disuguhkan pemandangan bentangan biru Danau Toba dan airnya yang tenang. Di satu dua sisi akan terlihat keramba-keramba ikan yang terlihat cantik dari kejauhan. Meskipun ternyata jika diulik, ada dilema beracun yang bersarang dibawah kecantikan yang seragam.
Keramba itu milik masyarakat, tentu yang letaknya berdekatan dengan perkampungan. Mungkin yang dimiliki oleh masyarakat itu bisa dibilang kecil saja, dan tidak begitu berdampak signifikan terhadap ekosistem air yang dipuja para saintis dan pemerhati lingkungan. Namun, ada satu perusahaan raksasa, eksportir ikan dalam jumlah besar yang membangun tambak nya sendiri, yang jauh dari pemukiman.
Sebetulnya karena jauh dari pemukimanlah maka pemerintah dan lembaga-lembaga penilai lingkungan mengizinkan perusahaan itu beroperasi di Danau Toba kita yang indah ini. Mungkin menurut mereka, efek dari perusahaan ini tidak akan mencemari air konsumsi yang menjadi tonggak hidup utama orang Toba-Samosir. Meskipun hingga kini perusahaan tersebut masih saja diawasi oleh lembaga-lembaga non pemerintah, terutama lembaga internasional yang peduli dengan kesehatan dan kelestarian lingkungan.
Satu perusahaan besar, melahirkan perusahaan-perusahaan kecil dibawahnya. Masyarakat jadi ikut tertarik untuk mengusahakan ikan nila dan menjadi pemasok dari perusahaan tersebut. Maka berlomba-lombalah mereka dalam membuat keramba ikan, di sekitar tempat mereka tinggal.
Pencemaran yang tadinya tidak terasa, menjadi signifikan karena meskipun skala kecil, aktifitas keramba dilakukan dekat dengan sumber air minum dan mandi. Itulah sebab di perkampungan pesisir Danau Toba kini tidak ada lagi anak-anak mandi di danau, airnya sudah keruh dan bau. Begitu kata mereka.
***
Kultur Orang Batak sudah lama menempati posisi spesial dalam hati saya, karena perilaku mereka yang cenderung percaya diri dan berkarakter membuat saya selalu senang bergaul dengan perantau-perantau Batak semasa kuliah dulu. Pertama kali saya berkesempatan menginjakkan kaki di Tanah Batak, yaitu satu tahun yang lalu, saya langsung jatuh hati dan memutuskan untuk ingin kembali lagi.
Keinginan saya tersebut terkabul setahun kemudian, ketika perusahaan yang sama meminta perusahaan konsultan tempat saya bekerja untuk melakukan penilaian di areal berbeda. Meskipun masih dalam cakupan kabupaten yang sama.
Kembali terbang ke Bandara Silangit, menyaksikan julangan bukit-bukit dari jendela pesawat, dan terdiam membisu menyaksikan bentangan indah lereng-lereng bukit yang berubah menjadi areal persawahan, membuat saya tidak berhenti bersyukur akan keindahan dan kesempatan yang telah diberikan. It does spark joy. The place, and the people.
Tidak terkecuali orang-orang Batak asli yang menemani sepanjang perjalanan, dengan candaan khas dan lugas mereka, dengan cara mereka memperlakukan tamu, dan cara mereka membawa diri (satu dua menunjukkan sikap defensif, satu dua amat ramah dan melayani). Dibalik itu semua, saya yakin setiap mereka sejatinya adalah baik dan senang bercerita. Orang Batak suka sekali bercerita, itu yang membuat saya yakin semua mereka adalah baik dan cerdas. Jika pada awalnya terlihat defensif, itu hanya soal bagaimana pembawaan kita sebagai pendatang untuk mau mendekati mereka secara baik-baik dan tidak penuh basa-basi. to the point aja lah. begitu prinsipnya.
***
Prapat - Keramba Ikan
Prapat adalah salah satu destinasi primadona bagi mereka yang ingin menikmati Danau Toba. Sepanjang jalan menuju Kabupaten Simalungun, pengunjung akan disuguhkan pemandangan bentangan biru Danau Toba dan airnya yang tenang. Di satu dua sisi akan terlihat keramba-keramba ikan yang terlihat cantik dari kejauhan. Meskipun ternyata jika diulik, ada dilema beracun yang bersarang dibawah kecantikan yang seragam.
Keramba itu milik masyarakat, tentu yang letaknya berdekatan dengan perkampungan. Mungkin yang dimiliki oleh masyarakat itu bisa dibilang kecil saja, dan tidak begitu berdampak signifikan terhadap ekosistem air yang dipuja para saintis dan pemerhati lingkungan. Namun, ada satu perusahaan raksasa, eksportir ikan dalam jumlah besar yang membangun tambak nya sendiri, yang jauh dari pemukiman.
Sebetulnya karena jauh dari pemukimanlah maka pemerintah dan lembaga-lembaga penilai lingkungan mengizinkan perusahaan itu beroperasi di Danau Toba kita yang indah ini. Mungkin menurut mereka, efek dari perusahaan ini tidak akan mencemari air konsumsi yang menjadi tonggak hidup utama orang Toba-Samosir. Meskipun hingga kini perusahaan tersebut masih saja diawasi oleh lembaga-lembaga non pemerintah, terutama lembaga internasional yang peduli dengan kesehatan dan kelestarian lingkungan.
Satu perusahaan besar, melahirkan perusahaan-perusahaan kecil dibawahnya. Masyarakat jadi ikut tertarik untuk mengusahakan ikan nila dan menjadi pemasok dari perusahaan tersebut. Maka berlomba-lombalah mereka dalam membuat keramba ikan, di sekitar tempat mereka tinggal.
Pencemaran yang tadinya tidak terasa, menjadi signifikan karena meskipun skala kecil, aktifitas keramba dilakukan dekat dengan sumber air minum dan mandi. Itulah sebab di perkampungan pesisir Danau Toba kini tidak ada lagi anak-anak mandi di danau, airnya sudah keruh dan bau. Begitu kata mereka.
Postingan saya di instagram tentang betapa cantiknya keramba ikan dari atas pemandangan Danau Toba.
***
Bukit Indah Simarjarunjung (BIS)
Beralih dari Prapat, ternyata masih banyak tempat indah yang sedang dalam tahap pembangunan. Sebut saja Bukit Indah Simarjarunjung, yang sudah menawarkan konsep-konsep photography dengan latar Danau Toba. Saya sudah mencoba salah satu fitur photography dengan membayar sepuluh ribu rupiah untuk empat kali foto, menggunakan kamera professional (Canon 60 D) meskipun hanya lensa kit. Namun gagal. Foto yang diambil oleh sang juru kamera (beserta kamera profesionalnya), ternyata over exposure. saya yang saat itu sedang amat kegirangan karena berhasil menyisihkan waktu kerja untuk menikmati panorama berbeda, sudah tidak ambil pusing lagi untuk melihat dan revisi. Baru tahu keesokan harinya setelah meng copy semua data.
Jika anda ingin mencoba sensasi baru, di daerah Bukit Indah ini (ada beberapa bukit lain yang saya kurang hapal namanya), juga sudah banyak penginapan, dan relatif lebih sepi dari Prapat.
Sepanjang jalan anda juga bisa mampir di kebun-kebun jeruk yang menjajakan jeruk dengan harga sepuluh ribu per kilo. Tanpa ditawar pun saya sudah tahu harga itu murah, karena di Bogor, harga jeruk dua puluh ribu per kilo hanya bisa didapat kalau sedang diskon.
Selain jeruk juga ada bawang merah dan terong belanda yang dijual dalam satu kantong merah. Bagi saya, pemandangan jual menjual produk horikultura semacam itu adalah yang ter-spark joy. Betapa kayanya hasil bumi kita. Jeruk, tomat, cabai, mengular di sepanjang lahan terbuka yang belum di'tanami' penginapan. Balige-Prapat-Porsea sedang gencar-gencarnya melakukan pembangunan, beberapa sawah sudah mulai ditimbun untuk dibangun rumah ataupun penginapan.
Ya, perubahan memang pasti dan tidak bisa dinafikkan.
***
Saya sudah mendaftar beberapa penginapan yang direkomendasikan oleh para pendamping dari perusahaan. Siapa tahu saya akan kembali lagi kesana untuk sekedar bersantai bersama keluarga. (Oh sepertinya saya akan kembali kesana untuk itu). Menyebrang Pulau Samosir menjadi calon destinasi saya berikutnya, karena berdasarkan buku yang sedang saya baca tulisan Sitor Situmorang yang berjudul 'Toba Na Sae', dari sanalah Sianjurmula-mula atau asal muasal Orang Batak.
Meskipun ada juga yang menyebutkan bahwa tidak ada lagi Orang Batak asli, karena semua punah dalam letusan gunung berapi.
***
Rumah Adat Batak, Sapo Godang dan Sapo Partukoan
Ada dua jenis rumah adat Batak jika kita perhatikan dari segi struktur bangunannya. Ada yang mempunyai tangga menjulur keluar, dan ada yang tangganya tersembunyi di balik dinding sehingga orang yang masuk harus merundukkan kepala sebelum menaiki tangga.
Rupanya rumah yang tangganya diluar, disebut dengan Sapo Partukoan, alias tempat pertemuan sekaligus menyimpan harta benda berupa emas, atau barang simpanan lainnya. Sejak jaman dahulu, berarti Orang Batak telah memisahkan tempat mereka tinggal dengan tempat mereka menyimpan barang-barang. Entah untuk maksud apa, saya belum sempat menggali sedalam itu. Yang jelas, di dalam rumah yang mereka tinggali (atau disebut juga Sapo Godang), benda-benda yang digunakan serba multifungsi. Misalnya, alas makan yang terbuat dari kayu tebal berukuran lebar, digunakan untuk makan beramai-ramai, karena sudah menjadi tradisi bagi mereka makan sepiring bersama. Tidak hanya itu, alat makan tersebut jika tidak sedang digunakan dapat dibalik dan menjadi alat penumbuk cabai, membuat sambal dan bumbu lainnya. Konsep minimalism yang sudah diterapkan sejak dahulu kala.
Artinya, manusia sejak dulu memang sudah menyadari akan adanya keterbatasan. Membatasi diri dari keterikatan dengan benda-benda, melalui hidup secara terpisah. Menggunakan benda multifungsi, agar tidak membebani dengan segala peralatan ribet jika mau masak, sehingga bisa fokus memasak dan menciptakan bumbu-bumbu yang spark joy di lidah.
Pun ruang-ruang di dalam rumah adat Batak, seluruhnya adalah ruang kosong tanpa sekat. Menandakan tidak ada batas antara keluarga. Tidak seperti sekarang, dimana anak dan ibu menyimpan rahasia yang bertumpuk dan tak terkatakan di dalam benak masing-masing.
***
Air Terjun Sipiso-piso
Berkunung ke Air terjun Sipiso-piso saat itu hanya singkat sekali, karena tidak cukup waktu untuk kita menuruni anak tangga yang entah mungkin mencapai ratusan bilangannya. Tinggi sekali. Bentangan perbukitan, lembah, air terjun yang disandingkan dengan Danau Toba, rasanya tidak cukup jika dipandangi saja. Namun direkam oleh kamera pun tidak sanggup karena apa yang kamera tangkap, tidak seindah mata kita menangkapnya. Maka saya menuruti titah seorang guru, di Danau Sentarum tujuh tahun yang lalu,
Jika lensa kamera tidak mampu membidik keindahan yang kamu lihat, tutuplah lensamu. Nikmati pemandangannya untuk sekali seumur hidupmu.
Ya, karena boleh jadi kita akan kembali lagi, dan tempat itu tetap sama seperti saat kita datangi. Namun hati dan pikiran kita sudah tidak sama lagi, as we constantly changing through age and timing.
***
Balige
Beruntung bagi saya, Karnaval Pesona Danau Toba diundur pergelarannya. Awalnya dilakukan pada 26 Agustus, sedangkan saya saat itu datang hanya sampai pada 25 Agustus. Ketika saya kembali untuk kunjungan selanjutnya, rupanya karnaval tersebut baru akan dilaksanakan pada 10 September, dan saya ada disana saat itu.
Berdiri berdesakan bersama puluhan pengunjung lain, berebut posisi terdepan ingin melihat barisan arak-arakan perempuan cantik dan pria-pria tampan yang berhias sana sini. Tak kalah kendaraan yang dihias dengan unik dan kreatif, membuat saya ingin membeli seutas tali kain penanda karnaval, persis seperti yang digunakan oleh para peserta.
Jangan lupa mampir ke Dallas Fried Chicken di Balige, jika kalian adalah alumni IPB (HAHA). Pemiliknya juga seorang alumni, yang bangga dengan almamaternya. Jadi yaa, mampirlah untuk silaturahmi.
***
Pesanggrahan Bung Karno
Meskipun disebut-sebut sebagai salah satu rumah paling angker di Indonesia, rumah bekas pembuangan Bung Karno ini masih digunakan untuk tempat menginap para pejabat. Hanya pejabat yang boleh menginap tanpa syarat disini. Namun pengunjung tetap diperbolehkan masuk. Untuk berfoto bisa dari luar, tapi ketika masuk hanya boleh berfoto tanpa boleh disebar ke media sosial. Alasannya jelas; perlindungan bangunan.
Penjaga rumah menyatakan bahwa rumah tersebut masih asli, tidak ada bahan bangunan yang diganti, hanya mungkin diperbaiki sedikit. Itupun atas kordinasi dengan pihak cagar budaya. Rumah bekas pembuangan ini, hanya memiliki tiga kamar, dua di lantai bawah dan satu di lantai atas. Kamar di lantai atas diperuntukkan untuk pengawal belanda dan dokter jaga. Karena sejatinya rumah itu adalah vila peristirahatan para tuan dan nyonya penjajah.
Berhadapan langsung dengan Danau Toba, menimbulkan kesan romantis tersendiri. Oleh desainnya yang masih kuno, rumah itu menimbulkan rasa ingin memiliki di hati saya. andai saya punya rumah seperti ini, begitu mungkin bisik siapapun yang melihat dan melintas. Siapa yang tidak mau, rumah ini seperti menjanjikan kedamaian, jauh dari bising kota, terbentang biru pemandangan Danau Toba.. lagi-lagi saya harus mempraktekkan minimalism disaat sedang kunjungan lapangan: mengendalikan keinginan agar jangan coba-coba menginginkan yang bukan menjadi hak saya.
***
Perjalanan ini saya lakukan bersama PT Remark Asia, perusahaan konsultan tempat saya bekerja. Kami melakukan penilaian terhadap area-area dengan nilai konservasi tinggi sebelum perusahaan klien melakukan pembukaan lahan. Penilaian ini didasari oleh komitmen perusahaan klien terhadap mutu produk yang dijamin oleh sertifikasi. Skema sertifikasi itu sendiri datangnya dari negeri barat sebagai pihak konsumen yang tidak ingin perusahaan produsen melakuan produksi terlalu masif dan tidak terkontrol.
Kami akan meninjau lokasi, berdiskusi dengan para pemilik lahan di desa, mengenai nilai penting area yang akan dibuka tersebut dari enam aspek. Apabila ada satu saja aspek yang terdapat pada area yang akan dibuka, maka area tersebut wajib dikonservasi alias tidak boleh dikonversi. Meskipun berada di atas status lahan APL (Area Penggunaan Lain) yang mestinya dapat dikonversi.
Rumitnya perjalanan peraturan daerah perlindungan hutan di Indonesia ini masih menjadi harta karun bagi para penggelut lingkungan. Apa saja bisa jadi uang asalkan cerdas bermain pikiran. bukan perasaan. Saya masih dalam tahap mengamati, terjun dengan hati-hati untuk kemudian memilih apakah akan terus berada disini, atau kembali menepi.
Sejauhi ini, skema sertifikasi yang kami lakukan masih yang paling relevan untuk menjembatani kepentingan proteksi lingkungan dan proteksi perut. Thanks to globalisasi, orang Indonesia bahkan yang tinggal di daerah remote tanpa sinyal pun kini ingin maju berkembang dalam definisi masyarakat global. Ingin punya baju dari bahan katun, ingin mengenyam pendidikan formal hingga universitas, ingin memiliki kendaraan untuk memudahkan transportasi. Sekeras apapun usaha konservasionis mempertahankan 'kultur' Indonesia yang serba memperoleh segala sesuatu dari alam, keinginan untuk beralih menjadi 'orang kota' pun tidak terelakkan. Terlebih para orangtua selalu menginginkan lebih untuk anaknya, sehingga sang anak akan dikirim jauh keluar kota untuk menimba ilmu. Ada kebutuhan komunikasi yang terselip disana, jangan bahas tentang rindu seorang ibu. Bisa menangis kau membayangkan menjadi seorang ibu yang harus terpisah dengan anaknya selama bertahun-tahun.
***
Jika anda berminat mengunjungi Silangit-Siborong-borong di Sumatera Utara ini, pastikan langkah anda menuju destinasi yang benar. Karena destinasi yang benar akan mengarah pada cerita yang benar. Dan itu umumnya diawali dengan: dulu itu.....
Comments
Post a Comment