Ruang Bicara Seorang Minimalist
Kadang kita tidak sadar bahwa kita tengah diperbudak. Oleh ego dan ambisi yang tiada batas, tapi ketiadaan ego dan ambisi pun mustahil adanya. Karena manusia pasti diciptakan dengan ego, hawa nafsu, yang mengarah pada ribuan ambisi tuk dicapai.
Rumah pun menjadi sasaran ego dan ambisi. Benda-benda yang tertumpuk di dalamnya, kadang melambangkan hal-hal yang kita ingin tunjukkan. Bahwa iniloh saya! Berlapis-lapis gambar dan hiasan memenuhi ruang dan dinding. Padahal ditengok pun jarang.
Setiap kali saya main ke desa di Kalimantan atau Sumatera, jarang sekali saya menemui rumah yang penuh dengan hiasan seperti rumah-rumah di akun instagram vogue living (yang sering saya like). Rata-rata rumah orang Dayak atau Batak itu memiliki ruang kosong, luas, tanpa furniture kecuali satu buah rak televisi (jika ada televisi) dan satu set kursi (jika ada set kursi, tapi kebanyakan hanya hamparan tikar).
Fungsional? Jelas. Ruang seluas itu biasanya ada di rumah-rumah kepala desa atau para petinggi, agar bisa menampung sebanyak mungkin tamu yang datang berkunjung. Budaya kita yang seragam di berbagai daerah adalah budaya lesehan.
Hal baik yang diperoleh dari desain rumah seperti itu adalah munculnya rasa kedekatan karena otomatis orang yang berkumpul akan duduk melingkar dan tegak. Beda jika ada sofa, yang meskipun membentuk huruf L atau U, orang akan cenderung lebih menjauh karena seater sofa di desain untuk berjarak antara satu dengan yang lain. Belum lagi kalau sudah bersandar dan nyaman, obrolan apapun akan kalah dengan rasa nyaman duduk sendirian.
Orang jaman dulu senang sekali berbincang, untuk itu ruang-ruang rumah adat dibuat luas dan tanpa sekat. Karena komunikasi adalah kebutuhan dasar manusia sejak awal kita diciptakan.
Dengan hidup penuh ruang, penuh sekat dan penuh barang, tanpa sadar kita telah mengurangi intensitas komunikasi dengan mereka yang setiap hari berbagi atap dengan kita. Apalagi distorsi komunikasi datang dari berbagai arah, televisi, handphone, membuat seorang ibu jadi jarang berbincang dengan anaknya (sekali berbincang di rekam dan di upload), atau seorang suami lupa memuji istrinya karena komunikasi mereka berpindah ke facebook yang ditonton banyak orang.
***
Sewaktu kecil saya sering berpikir, betapa membosankannya para orang dewasa itu. Datang jauh-jauh bertandang ke rumah orang, hanya untuk menghabiskan waktu berjam-jam bercerita. Saya, saat itu, juga mampu menghabiskan waktu berjam-jam dengan kawan. Tapi untuk bermain, berkeliling, melakukan aktifitas fisik.
Orang dewasa kok betah ya ngobrol terus sampai lupa waktu?
Begitu tanya saya setidaknya sampai usia SMA.
Baru sekarang saya mengerti, arti penting komunikasi. Menyimpan segala sesuatu sendiri memang baik, tapi jika terlalu lama akan menjadi bom waktu yang siap meledak kapanpun dan itu tidak sehat. Saya baru mengerti ketika saya mendapat teman bicara yang asyik, yang dengannya saya bisa membicarakan apapun dan disambut dengan baik. Well, saya kehilangan orang itu sekarang. Tapi tak apa, people come and go, and I always believe what will come is always better than what has gone.
Sore kemarin saya juga di chat kakak kelas, salah satu favorit waktu SMA dulu. Katanya ia tengah merindukan suasana kantor, yang ada teman bicara di dalamnya. Bukan pekerjaan yang ia damba, tapi teman berbagi dalam segala hal termasuk hal-hal paling tidak penting namun membahagiakan.
Membuat saya sekali lagi bersyukur pada apa yang telah saya punya sekarang. Sepasukan ibu-ibu tangguh yang menjadi teman bicara saya setiap hari.
***
Manusia selalu butuh ruang untuk bicara. Dan menjadi penting untuk tahu ruang ketika bicara.
Kita perlu menguasai kemampuan untuk bisa fokus pada hal penting dalam hidup saja. Seperti orang jaman dulu yang bisa hidup hingga ratusan tahun, sehat dan mati dalam damai. Karena hidupnya tidak dibebani oleh possessions yang memberatkan. Mereka bisa fokus pada hal yang disukai.
Discarding benda benda di dalam rumah bersama pasangan akan menjadi strategi komunikasi baru bagi pasangan yang sedang dalam masa penjajakan. Bisa saling mengetahui bagaimana cara berpikir masing-masing dan sejarah cerita apa yang ada di balik setiap benda. Whoa that's gonna be fun! Untuk pasangan muda bisa menjadi semakin mengenal, dan untuk pasangan yang lebih berumur akan sembari mengenang masa-masa indah atau sedih yang telah dilewati bersama.
Discarding ritual dapat menjadi alternatif kegiatan bagi satu atau dua akhir pekan. The rest is history. Haha bukan,. Maksudnya the rest tinggal lah rumah yang lebih bersih, lebih nyaman, dan hati yang lebih tenang.
Menjadi minimalist bukan sekedar melepaskan benda-benda, but how to maintain the minimalism is what matter. Menjadi orang yang tidak lagi terperdaya hawa nafsu untuk belanja. Mencegah timbunan clutter dengan me-reuse barang bekas di rumah, memicu kreatifitas karena kita hidup dalam batas.
Jika anda ingin mencari alternatif penyegaran bagi pikiran yang sudah sangat penat, try minimalism.
Saya tidak akan menceritakan detail cara nya karena setiap orang pasti punya cara sendiri. Saya hanya akan sampaikan bahwa tujuannya adalah: inner peace. Selama itu membawa damai dalam hati, lakukanlah. Sesedikit mungkin ragu dibawa dalam melepaskan benda-benda yang tidak dibutuhkan. Sesering mungkin bertanya:
Is it worthy? Is it bring value? Is it spark joy? Do I need it? What if I discard it? Can I still live well without it?
Lepaskanlah.
Agar kita bisa melihat, mana yang sebetulnya berarti dalam hidup kita yang sesungguhnya.
Minimalism ~ life with less distraction.
Comments
Post a Comment