Contentment in Minimalism


Minimalism is about clarity. To simplify things in a complicated world. Tapi hati-hati dengan ego traps. Perasaan bahwa diri sendiri lebih baik dari orang lain. Bahwa diri sendiri lebih bahagia dari orang lain. Dan bahwa diri sendiri lebih sederhana dari orang lain.

We cannot compare our happiness to other. A piece of cake, in the same size, will bring different level of happiness to two different kids. Ketika melihat orang lain tengah mempersiapkan masa depannya dengan rumit, tidak perlu menyela dengan berkata "ah terlalu rumit! Saya dong, sederhana"

Simplicity has no measurement. One cannot compare their simplicity to others. Bisa saja pakaian seharga satu juta rupiah adalah sederhana bagi orang berpenghasilan seratus juta per bulan. We cannot judge someone if they're living a lavish or prudent life.

***

With minimalism, we reach the stage of life in which we don't have to compare our self. Comparing is the thief of joy. Why bother if someone got the new car, if we content with the bicycle, then do biking everyday. Minimalist won't care about what other people have and what they do not have. And that's reduce the level of stress. Even when minimalist have enough money to afford the same luxury car, they won't buy it if they don't need it.

Tanpa sadar, saya banyak belajar tentang minimalism dari kedua orang tua saya. Mereka tidak pernah memanjakan saya sejak kecil dengan membelikan barang-barang yg saya mau dengan mudah (bahkan sampai sekarang saya belum juga mempunya serial Harry Potter). Sejak dulu orang tua saya hanya fokus pada hal-hal yg saya butuhkan. Les Bahasa Inggris sejak masih kelas empat SD, masuk ke sekolah terbaik di kota kecil tempat saya menghabiskan masa kecil, dan menuntun saya hingga ke universitas yang baik menurut mereka.

Meskipun banyak pemberontakan yg saya buat, saya bersyukur kedua orang tua saya tidak pernah terlalu membebaskan saya dalam menentukan pilihan. Saya masih kecil saat itu. tahu apa saya tentang pilihan? Tanggung jawab?

Maka untuk menutupi kekurangan tersebut, antara memilih metode parenting seperti apa yang sebetulnya ideal, saya mengambil mata kuliah psikologi anak, pengembangan karakter dan pendidikan holistik sebagai mata kuliah pilihan. Sangat bertolak belakang dengan major saya yang amat pertanian.

***

Dari semua itu saya belajar, bahwa mendidik anak adalah petualangan. Pembelajaran yang tidak akan pernah ada habisnya. Untuk bisa punya anak yang mampu menghargai nilai-nilai serta kebaikan-kebaikan kecil di sekitarnya, harus lah dimulai dari ibu, sebagai madrasah pertama.

Tidak ada formula khusus untuk menjadikan anak seorang minimalist - yang merasa cukup dengan apa yang dimiliki. Pun sesama orang tua tidak perlu saling men judge apakah dia terlalu keras pada anaknya atau terlalu memerdekakan anaknya. Ego traps adalah hal paling umum yang terjadi di kalangan ibu-ibu tanpa disadari.

Bahwa setiap ibu punya metode berbeda. Setiap anak butuh perlakuan berbeda. Mereka selalu lupa dan selalu merasa diri sendiri paling benar dan bahagia. Tapi percayalah, sejatinya orang yg paling bahagia adalah orang yg hanya tersenyum mengiyakan ketika di debat oleh mereka yang tidak sepaham.

***

Dua malam ini bulan sedang cantik-cantiknya. Terutama di pukul tujuh, ketika jarak nya belum terlalu tinggi.

Tidak peduli seberapa berat dan mengesalkan hari berlalu di kantor, jika kita bisa menikmati bahagia-bahagia kecil di sekitar kita, energi negatif itu pasti akan surut sepanjang jalan. Habis terbawa angin malam. Dan ketika memasuki pintu rumah, di sambut hangat tawa dan pelukan keluarga, energi negatif yang tadi sempat ada akan hilang sirna sempurna.

Hanya ketika kita bisa menikmati bahagia kecil, mensyukuri keadaan yang sudah dimiliki, kita bisa merasa cukup tanpa perlu mengejar lebih banyak. Uang hanyalah angka. Jika pun dia bisa membeli kebahagiaan, tentu tidaklah lama. Akan dibutuhkan serial uang lain untum membeli kebahagiaan yang sama.

Sampai di situ.. Akankah kita akan terus hidup dalam lingkaran cerita tanpa makna?

Comments

Popular posts from this blog

Something to Look Forward to

Inside the Mind of a Woman

144 Hours without Instagram