Emperara


Malam ini bisa dibilang untuk pertama kali dalam hidup, saya bersepeda motor membelah hutan di malam hari selama empat jam back and forth. Dari tiga desa yang kami tuju untuk ditemui kepala desanya, hanya satu kepala desa yang akhirnya dapat kami wawancara. Itupun desa terjauh, yang saya sudah hampir tidak punya tenaga lagi untuk turun dari motor. Sepanjang jalan, lumpur dan batu menjadi jalur yang ditempuh dengan kecepatan tinggi. Sesekali saya harus turun karena ban motor tertanam di lumpur, dan yah.. Saya harus puas membenamkan kaki kedalam genangan lumpur coklat yang lengket.

Satu jam pertama saya bersemangat ajak ngobrol bapak yang membonceng saya. Beliau bekerja sebagai karyawan perusahaan, sebagai penjaga mess tempat kami tinggal. Istrinya yang memasak makanan sehari-hari untuk kami di mess.

Mulai masuk jam kedua lutut saya mulai sakit. Karena jalur menurun menanjak dan berbatu membuat saya harus menahan beban untuk tidak menubruk si bapak yg di depan.

Dua desa kami lewati, dan kepala desanya tidak di tempat. Saya sempat gemas dan kesal karena sebelumnya, orang perusahaan yang mengantar saya (kali ini saya sendirian, biasanya bersama dengan satu orang assessor lagi), mengaku sudah mengontak pak kades dan janjian di rumahnya. Pun saya yakinkan beliau bahwa tidak apa kalau bukan kepala desa, anggota BPD juga cukup, agar kita tidak memaksakan diri. Namun beliau bersikeras untuk menemui kepala desa saja, tidak usah diwakilkan. Saya pun kesal dengan diri sendiri. Andai saya ini sudah tua dan berpengalaman, tentu beliau akan menurut pada saran saya.

Akhirnya saya mulai berdamai dengan situasi. Menikmati malam diatas sepeda motor, dibawah tutupan hutan dan sahut-sahutan binatang malam. Sengaja saya simpan ponsel di tas, menolak untuk menengok GPS tidak usah tahu seberapa jauh jarak tersisa. Tidak perlu.

Deretan kebun karet, area padi ladang, hingga hutan belukar dengan tegakan pohon tinggi dan besar kami lewati. Jalur terjal menanjak, menurun, berbatu, dan berlumpur pun kami tempuh. Setiap kali saya turun dari motor karena jalan becek, lutut saya seperti mengeluarkan bunyi berderit. Sakit sekali. Saya tertawa dalam hati.. Ooh.. Begini toh rasanya bekerja.

Dusun terakhir yang kami tuju adalah Dusun Emperara. Satu dari tujuh dusun yang ada di desa tersebut.

Saya lega ketika ibu yang menyambut kami di ambang pintu berkata 'bapak ada'. Fiuh.. Terbayar sudah rasa sakit ini.

Kami masuk dan duduk di kursi kayu yang cantik. Ruang tamu rumah kepala desa selalu sama dimana-mana. Di desain untuk banyak orang sehingga sofa tentu ada lebih dari satu.

Tak lama si bapak keluar, dengan kaus dalam dan celana pendek. Ujarnya beliau baru terkena musibah.. Jatuh dari motor. Sambil berjalan mendekat, saya mulai merasa ada yang ganjil. Jalannya yang pincang menandakan musibah yg baru dialaminya tadi. Tapi ada sesuatu yang berbeda dari ekspresinya.

Kamipun bersalaman, seperti biasa saya menyebutkan nama dan asal seraya menyalami beliau. Dan.. Benar saja! Pak Kepala Desa yang susah payah kami temui sedang dalam keadaan mabuk!

Saya tengok jam sudah jam delapan. Oh.. Mungkin memang waktunya.

***
Tradisi, adat dan budaya. Memang dapat menjadi alasan bagi kita untuk mempertahankan sebuah kebiasaan. Kebiasaan baik maupun buruk.

Padahal kita punya kendali atas hidup kita sendiri. Kita bisa memilih akan menjadi apa jika saja berani mendobrak kebiasaan. Berani berpikir berbeda dan berani mengambil keputusan.

Kita semua bisa berubah. Kita semua HARUS berubah. Mempertahankan sisi baik yang sudah ada secara turun temurun memang perlu, tapi bukan berarti semua yang turun temurun harus kita pertahankan. Sesekali ada yang perlu di evaluasi, di pikir kembali alasannya, dan dijalankan ketika itu mendatangkan value dan joy.

***

Memasuki jam ketiga, lutut saya sudah mulai tidak terasa. Begitupun separuh wajah saya. Wajah saya tutupi masker, jadi masih aman. Namun sisanya yang tidak tertutupi masker, rasanya sudah kebas oleh angin malam dan debu yang beterbangan. Jangan tanya soal helm. Orang sini tidak mengenal helm.

Kemarin, malam pertama kami tiba disini, disambut oleh hujan badai yang disertai mati lampu. Satu kekhawatiran saya adalah jika malam tadi hujan lagi. Karena saya tidak menyangka akan perjalanan sejauh itu, jadi saya tidak membawa jas hujan dan perlengkapan lain. Kalau hujan, habislah sudah.

Bapak yang membonceng saya terus bercerita mengenai apa saja. Mengenai pengalamannya menjadi tukang ojek, mengenai istrinya yang memilih masuk Islam, mengenai komitmen nya terhadap sang istri, apapun diceritakan untuk memecah hening.

Saya menjadi pendengar yang baik sepanjang perjalanan. Sesekali bertanya dan sesekali memuji. Entah kenapa, setiap yang bertemu dan melakukan perjalanan bersama saya pasti akan berbicara soal pernikahan. Tadi siang saja, saat bertemu dengan mahasiswa KKN dari Jogja, dan mereka dengan ringannya bersedia ikut menengok mata air, saran dari salah seorang dari mereka yang membonceng saya adalah: hati-hati mbak.. Nanti nikahnya lama.

-_-

***

Hujan yang saya khawatirkan ternyata tidak datang. Justru sebaliknya,. Malam kian ramai dengan suara jangkrik dan hewan malam lainnya.

Bahagia saya semakin lengkap ketika saya menengok ke atas dan.. Ada bintang! Plenty of them! Tadinya hanya ada dua kerlip, yg satu terang sekali seperti kejora, yang satu lagi kecil dan redup. Namun dalam perjalanan pulang, seolah tahu saya sudah mulai bosan.. Taburan bintang dipamerkan di atas saya.

Puas saya menengadah sambil terguncang oleh jalanan berundak. Bahagia saya ada pada kerlip mewah diatas sana.

Saya lalu membayangkan, ada sebuah kota.. Negara.. Kehidupan.. Yang lampu-lampunya menjadi bintang di planet kita.

Jika angin malam mengebaskan wajah dan kaki saya.. Maka langit malam mengobati semuanya. Night sky and the stars.. Menjadi penutup bahagia dalam perjalanan saya ke Dusun Emperara.

***

Jika kita tidak sanggup mengubah cerita hidup, maka kita harus sanggup menikmati bahagia-bahagia kecil yang ada di sekitar.

Jika obrolan mengenai pernikahan dan ambisi untuk menjelajah mengusik kedamaian, take a look around, there are so many things to enjoy.

Dan bagi saya malam ini, cukuplah langit dan bintangnya. Karena saya yakin.. Suatu saat nanti saya akan menemukan bulan bagi langit malam saya.

***

Sungai Sambang, Sekadau Sintang. 19 July 2017, 22.28

Comments

Popular posts from this blog

Something to Look Forward to

Inside the Mind of a Woman

144 Hours without Instagram