How I Found Minimalism
Minimalism is stress relieving. Tanpa saya sadari, selama ini saya sudah dikelilingi terlalu banyak benda yang saya simpan sejak lulus SMA dan kuliah. Buku dan diktat kuliah, bingkai foto beserta beberapa foto yang dicetak untuk kenang-kenangan, kado-kado perpisahan semasa menjelang kelulusan, semua tertumpuk di dua - tiga box container yang selama bertahun-tahun hanya diam di pojokan tanpa pernah digunakan.
Saya tidak pernah tahu bahwa benda-benda itu meng-absorp energi positif sampai saya mengeluarkan nyaris setengahnya.
I decluttered everything I could eversince. My digital life, friendships, commitments, work life, everything I purged felt like another weight had been lifted. I felt calmer and more in control of my life.
***
Langkah pertama yang saya lakukan, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan ketika saya hendak membersihkan kamar - weekly routine (since I broke up :p ). Tapi kali ini, saya mempersiapkan dua box kosong, 1 box container untuk barang-barang yang akan disimpan, dan 1 kantong sampah untuk barang-barang yang sudah tidak diperlukan.
Saya lalu membagi benda-benda yang berada di dalam box container kedalam tiga kategori: simpan, donate, buang. Yang disimpan tentu saja yang masih digunakan saat ini. Beberapa benda yang saya pikir akan saya gunakan nanti saya masukkan di kotak donate karena ternyata setelah bertahun-tahun tersimpan disana, saya pun tetap tidak menggunakannya. Jadi mugkin akan lebih berguna jika dimiliki oleh orang lain yang membutuhkan. Benda lainnya yang hanya saya simpan sebagai kenang-kenangan, dengan berat hati saya masukkan ke kantong sampah untuk dibuang (yang ternyata sebagian diambil oleh asisten rumah tangga yang biasa membersihkan bak sampah).
Di langkah awal ini saya belum memasukkan kategori sell karena selain masih belum pede, saya juga belum tahu kemana harus menjual barang bekas seperti ini.
Dari hasil mengeliminasi tersebut, diperoleh dua box besar - seukuran kardus rokok- yang saya donasikan untuk para pembantu rumah tangga. Sebagian besar isinya adalah baju-baju perempuan, dan bahagia sekali rasanya ketika keesokan hari saya mendapati mereka menggunakan baju-baju saya.
***
Sampai saat ini pun saya masih harus mengeliminasi beberapa benda, let's say dari hasil pembersihan tahap pertama tadi saya hanya berhasil mengeliminasi sekitar 40% benda di dalam rumah, sedangkan yang saya gunakan sehari-hari tidak lebih dari 20%. Artinya masih ada 40% lainnya untuk dikeluarkan, dan ini merupakan bagian tersulit. Ibarat lapisan, 40% yang telah dikeluarkan tadi adalah lapisan terluar, yang hanya sedikit attachment dalam kehidupan saya sekarang, sedangkan 40% yang berada di lapisan kedua, ini sedikit banyak masih saya manfaatkan sesekali untuk - entahlah - kadang mengisi waktu, kadang hanya untuk dilihat-lihat saja.
Untuk itu prinsip ini masih terus membutuhkan eksperimen-eksperimen, try and error. Seperti kata Marie Kondo, bahwa kita bukanlah harus mengeliminasi benda, tetapi memilih mana yang untuk disimpan.
Sejak saat itu saya memberi waktu bagi diri sendiri untuk merefleksikan keseharian. Apakah benda ini saya gunakan? Apakah benda ini kelak akan saya gunakan? Apakah benda ini akan lebih baik dan bermanfaat jika digunakan oleh orang lain? Apakah benda ini spark joy?
I promise I'll write it down when I get to second stage of decluttering.
Karena sejak saat itu saya menemukan sumber kebahagiaan baru, dan merasa lebih ringan ketika barang-barang itu didonasikan dan keluar dari ruangan. Hal-hal baik dan positif pun berdatangan seiring dengan meningkatkan positive vibe yang ada di dalam diri sendiri. Law of Attraction is working this way, the universe isn't do the revenge to you. It gives what you reflect. Positivity will come to you if you spread positivity to the world.
Dan jika minimalism membantu anda menemukan positivity, then embrace minimalism. We don't need more stuff.
Comments
Post a Comment